004 : Deep Dark World

94 16 5
                                    

"Gelap yang kurasakan. Jauh melangkah menapaki tempat yang tak pasti. Menggantung, linglung, bingung, terombang-ambing. Terseret derasnya ego yang berubah menjadi sebuah gelombang raksasa liar bersiap menghantam."

Reaksi pertama yang Aslan bisa asumsikan adalah berisik. Seumur hidupnya, Aslan baru menginjakkan kakinya di tempat seasing dan sebising ini.

Suara musik DJ menghentak-hentak. Mengganggu indera pendengarnya yang memang belum terbiasa. Lautan manusia yang berjoget ria di keremangan cahaya. Lebih tepatnya cahaya penuh warna dari puluhan lampu yang bertengger di atas sana. Berputar tak tentu ke segala arah. Siapa saja yang punya hal berkaitan dengan vertigo, di pastikan tidak akan tahan untuk tidak mengeluarkan isi perutnya.

Aslan mengendarkan pandangannya ke arah lain. Terlihat sebuah bar minum dengan deretan botol berupa-rupa label yang ia tidak tahu namanya. Hanya saja ia tebak semua minuman itu mengandung alkohol tinggi.

"Lo kayaknya nyesel dateng ke sini?" Sejak tadi Aslan terlalu sibuk dengan pandangannya ke sekitar. Hingga saat suara Uka mengisi indera pendengarnya. Ia sedikit kaget. Dilihatnya temannya itu telah memegang sebuah gelas berukuran kecil dengan cairan kuning pucat serta satu es balok kecil di dalamnya.

"Gue pertama kali dateng ke sini, jadi wajar." Katakan jika Aslan memang pandai menekan kejujurannya. Padahal baru lima belas menit tubuhnya berada di salah satu tempat club malam. Aslan sudah tak nyaman, rasa risih, cemas dan parno seakan menjadi penjahat yang menghantui pikirannya.

Uka tersenyum separuh. "Lemesin aja. Lama-lama lo pasti suka." Suara Uka yang terkesan menggoda itu harus bersaing dengan alunan musik. Aslan hanya dapat mendengar samar-samar. Ia sungguh tidak bisa tenang jika berada lebih lama di tempat seperti ini. Orang-orang yang tidak dikenalnya terasa menggangu jarak pandangnya. Suara musik nyaring seakan mencekik urat lehernya. Dan bau aneh yang masuk ke dalam rongga hidungnya. Aslan bisa saja mual dan muntah.

"Lo minum apa?" tanya Aslan. Tanpa menghiraukan kembali orang-orang yang masih gila dengan jogetnya di bawah sana. Club itu memiliki lantai atas yang jauh lebih tenang dari lantai dasar. Meskipun suara musik masih menguasa hampir seluruh ruang club.

Uka menatap orang-orang yang berjoget di bawah sana. "Lo mau coba?" tawarnya sambil menoleh dan mengangkat gelasnya.

Aslan terdiam. Matanya sibuk melihat isi dari gelas yang tinggal setengah tersebut. Ragu menerpanya. Layaknya badai Siberia yang menghujam.

Tiba-tiba Uka tertawa renyah. "Liat muka lo sekarang, kayak gadis yang mau ditawari ML," cibirnya yang sontak membuat Aslan mau tak mau mendengus.

"Emang lo udah bisa minum-minum yang kek gini? Lo masih SMP." Aslan jelas tahu di mana batasannya. Meskipun semakin lama, ia juga ingin melewati aturan itu.

Uka terkekeh. "Gue bakal lulus lebih dulu," jawabnya. "Nikmatin hidup gak akan sempurna kalo lo nggak minum beginian." Uka menyodorkan gelas itu ke hadapan Aslan. "Cobain deh, gue jamin lo pasti suka."

Kening Aslan berkerut. Bukan semerta-merta ia bingung. Akan tetapi isi kepalanya saat ini tengah berperang hebat. Antara ego dan janji. Janji yang dulu diterapkan oleh kedua orangtuanya. Diucapkan setiap Aslan mengatakan mimpi kecilnya suatu saat nanti. Sebuah nasehat lama yang masih terselip di dalam kepalanya. Berjanji agar menjauhi hal-hal yang sekarang tengah berada di depannya. Itu akan menjadi petaka bagi tubuhmu dan nilai agung dari Tuhan.

[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This)  [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang