009 : Afraid

42 10 3
                                    

Aslan hanya anak laki-laki berusia tujuh belas tahun dengan segala macam kelabilan dan tingkat emosional yang berubah-ubah. Seperti sekarang ini. Ia mondar-mandir di depan ruang ICU dengan wajah cemasnya. Lebih dari itu, matanya telah basah. Sesekali duduk lalu bangkit berdiri dan kembali berjalan modar-mandir. Jari-jemarinya saling bertautan. Gemetar dengan rasa gelisah yang teramat semakin buruk.

Sudah hampir satu jam penuh Ibunya masih ditangani oleh Dokter di dalam sana.

Setelah menemukan tubuh Ibunya yang tergeletak di atas pembaringan. Tak lebih panik saat cairan putih berbuih itu keluar dari bibir Ibunya.

Aslan panik bukan main. Apalagi ia menemukan sebotol, bukan lebih dari lima botol yang telah habis isinya. Aslan tidak tahu jika Ibunya telah lama mengonsumsi obat tidur serta semacam pil penenang. Sisa kapsul penghantar tidur panjang itu berceceran di lantai. Ibunya pasti menelan sebagian besar kapsul itu. Akibat tekanan yang selama ini ia terima. Ibunya mungkin sudah putus asa. Seperti apa yang tempo malam dirasakan Aslan. Ibunya telah memangku zona overdosis.

Bi Ida mengusap punggung Aslan dengan lembut. Seolah memberikan kekuatan yang ia punya untuk diberikan.

"Bi, Ibu nggak akan kenapa-kenapa, kan?" Ada haru yang menusuk. Ada sesal yang menghimpit. Aslan kesakitan luar biasa.

Bu Ida tersenyum dengan air mata yang meluncur begitu saja. Mencoba kuat dengan apa yang ia bisa lakukan.

"Iya, Den. Kita berdoa aja ama Tuhan. Serahin semuanya." Setidaknya perkataan Bi Ida barusan membuat batin Aslan tergugah meski dalam porsi yang teramat kecil. Ia berharap lebih dari jutaan kali.

Bahwa Ibunya akan baik-baik saja. Hanya itu.

"Lan!"

Aslan mengangkat wajahnya. Dua temannya telah berdiri tepat di hadapannya. Suara napas keduanya memburu. Mungkin setelah Aslan tadi sempat didera kepanikan. Hanya ada beberapa kontak di ponselnya.

"Gimana keadaan Ibu lo?" Gery jauh lebih panik.

Aslan tak berniat menjawab. Uka mengerti dan segera duduk di samping Aslan. Merangkul pundak laki-laki yang terlihat frustrasi itu.

"Gue tahu lo ketakutan. Itu sebabnya kita ada di sini. Buat lo, kita bakal ada buat lo, Lan." Aslan menitikan air matanya. Terisak selayaknya anak di laki-laki yang masih duduk di sekolah menengah pertamanya.

Aslan terlalu rapuh untuk bisa melalui ini semua.

"Gue, gue ... bingung harus gimana?" ucap Aslan dengan suaranya yang serak. Bahkan tanpa sadar ia mencengkeram kain celana selutut yang dipakainya. Matanya bergerak tak menentu.  Pandanganya jatuh kembali ke lantai rumah sakit yang berwarna pucat. Seakan mengolok apa yang telah dilakukannya. Menambah keterpurukannnya sejengkal demi sejengkal.

"Gue takut ...," desisnya lalu melanjutkan, "Gue nggak mau kehilangan Ibu, gue nggak mau."

Gery terdiam seribu bahasa. Uka lebih sering mengusap punggung Aslan yang bergetar. Bi Ida mengusap sisa air matanya lalu cepat-cepat berdiri dari duduknya saat Dokter membuka pintu. Semua orang bangkit dengan wajah cemas, takut dan menerka-nerka apa yang akan keluar dari bibir Dokter tentang Ibunya Aslan.

"Ada walinya? Saya mau bicara?"

Bi Ida maju dengan cepat.

"Dok, bagaimana keadaan Ibu saya?" Aslan sudah tak tahan untuk mengetahui apa yang terjadi kepada Ibunya.

"Pasien masih kritis. Saya sudah usahakan membersihkan pil-pil di dalam tubuhnya. Untung saja bisa cepat dibawa ke sini. Semoga saja pasien bisa melewati masa kritisnya. Mari, Bu." Bi Ida mengusap pundak Aslan, menguatkan. Sebelum berjalan mengekori Dokter itu pergi ke ruangannya.

[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This)  [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang