012 : Dont Go

43 9 2
                                    


Aslan mengatur napas yang memburu. Begitupun dengan Uka dan Gery yang berada di sampingnya.

Ruangan tempat Ibunya dirawat berada tak jauh dari tempatnya sekarang, sekitar dua ruangan lagi dan satu tikungan ke kanan.

Aslan sudah sampai dan hal pertama yang ia lihat adalah Bi Ida keluar dari dalam ruangan dengan tangis menyayat hati, sesegukan.

"Bi," seru Aslan.

Jangan lupakkan kedua matan Aslan yang telah basah sejak perjalan menuju rumah sakit tadi.

Bi Ida menatap Aslan dengan raut hancur. Rasa bersalah seakan menjadi tameng dari kesedihannya.

"Ibu baik-baik aja kan, Bi?" Aslan menarik satu tangan pembantunya tersebut. Diremasnya dengan sorot mata meminta secuil harapan baik.

Namun, sorot Bi Ida malah meredup, seakan semua harapan Aslan telah jatuh, pecah, berkeping-keping.

Ada gelengan kecil dari Bi Ida sebelum kembali menutup wajahnya dan menangis sejadinya. Lebih keras dan menyayat.

Aslan seakan kehilangan pijakannya. Tubuhnya melorot jatuh ke lantai. Gery segera menangkap bahu Aslan.

Mengguncangnya perlahan.

"Lan, Aslan!"

"Ibu," bisiknya.

Pintu ruangan gawat darurat itu terbuka dengan sebuah keranjang putih yang didorong oleh beberapa perawat. Aslan melihat tubuh yang ditutup selimut itu dengan perasaan sakit yang teramat menyakitkan.

Dadanya seakan dicabik-cabik, air mata sudah tak bisa terbendung lagi hingga meluncur deras. Sekuat tenaga ia tak mengeluarkan isak tangisnya. Mencoba kuat meski kenyataan sangatlah rapuh.

"Ibu!"

Aslan menahan laju keranjang beroda itu dengan rintihan kecil, sukses mengobrak-abrik seisi tubuhnya. Air matanya tidak akan bohong, tahu isi hati sang pemilik.

Gery mencengkeram sebelah bahu Aslan, agar tidak jatuh. Sementara Uka hanya membeku di tempatnya. Air matanya sudah jatuh sedari tadi.

Melihat pemandangan yang jauh lebih menyakitkan dan tak pernah ia bayangkan akan jadi seperti ini. Apalagi saat Aslan meratap dengan isakkannya.

"Kenapa Ibu saya dipindahkan? Ibu saya masih hidup Dokter! Tolong, Ibu saya masih bernapas! Tolong ...."

"Maaf, tapi kami sudah lakukan yang terbaik terhadap pasien. Akan tetapi Tuhan lebih punya rencana yang indah. Ibu anda sudah pergi dengan tenang." Dokter dengan penuh uban itu mengusap pucuk kepala Aslan dengan raut harunya.

"Berdoalah supaya beliau beristirahat dengan tenang berada di sisi-Nya."

Aslan luruh ke lantai setelah Dokter mengakhiri ucapannya.

"Lan, lo harus kuat. Mungkin ini yang terbaik. Lo nggak boleh kek gini, Lan."

Gery merangkul tubuh Aslan yang semakin hilang kendali.

Apalagi saat ranjang yang berisi tubuh Maya kembali didorong. Aslan segera menahannya dengan sekuat tenaga.

"Dok, saya mohon ... Dokter pasti keliru. Ibu saya masih hidup, Dokter. Saya percaya Ibu saya masih berjuang! Coba sekali lagi, Dok!"

"Udah, Lan, udah biarin Ibu lo pergi dengan tenang," ucap Gery menguatkan teman kecilnya tersebut.

"Enggak, gue nggak bakal biarin Ibu gue pergi, dia alasan gue buat tetep hidup, Ger," tukas Aslan.

Memberontak dari kungkungan Gery pada tubuhnya.

"Lo harus sadar! Lo masih punya waktu buat memperbaiki semuanya. Serahin semuanya sama Tuhan."

Lagi-lagi Aslan hanya bisa terisak dengan tubuhnya yang semakin lemah. Matanya sudah merah dan bengkak. Luka di pipinya bukan apa-apa dengan apa yang sekarang ia alami.

Ibunya pergi, pergi dengan luka yang tak pernah bisa ia sembuhkan. Penyesalan mungkin selalu ditempatkan dalam keterlambatan. Seakan menjadi rasa terbaik setelah semua sekenario yang Tuhan berikan.

Aslan sudah menyerah di jalannya sendiri. Pandangannya kabur, tersesat jauh dalam jalan setapak yang membawanya ke dalam hutan penuh dengan duri-duri luka yang semakin terasa menganga, setiap detiknya. Meruntuhkan tameng pelindung, tergeletak tak berguna dalam kubangan rasa sakit yang teramat dalam.

Dari kejauhan Aslan bisa melihat kemunculan Raditya tepat di ujung koridor. Wajahnya yang terlihat pucat pasi langsung disuguhkan sebuah fakta menyakitkan akan kehilangan orang yang sangat ia cintai.

Suara frustrasi yang keluar dari bibir Raditya seakan menambah luka baru yang menghantam dada. Hingga isakkan serta tangisan, mengisi dunia Aslan yang semakin temaram. Gelap, dingin, penuh luka dan Aslan harap ia mati saat itu juga. Agar bisa menyusul Ibunya di sana.

Susah payah Aslan bangkit dari lantai. Melangkah gontai tanpa tujuan. Keadaanya jauh dari kata baik-baik saja.
Untuk itu Gery berjalan membuntuti Aslan. Uka harus menyadarkan dirinya akan peristiwa barusan. Temannya itu pasti terpukul jauh dari apa yang dulu ia alami.

"Lepasin!" Aslan berteriak kasar, saat Gery menahan tubuhnya yang hampir terjatuh.

"Lo sama Uka mulai sekarang nggak usah campuri urusan hiup gue! Semuanya udah selesai. Lo puas kan sekarang!" bentak Aslan. Kedua tangannya meremas kerah baju Gery. "Jauhin gue!" ucapnya lagi, mendorong tubuh Gery sekuat tenaga.

Gery menggeleng dengan tegas. "Lo masih tanggung jawab gue! Lo masih temen gue—"

"Gue nggak sudi punya temen kayak lo! Harusnya dulu gue, nggak sebodoh sekarang percaya sama kalian berdua!"

"Aslan!" Gery mengejar langkah cepat Aslan yang berlari. Uka ikut mengejar dengan jalan pintas. Ia yakin, bahwa Aslan akan nekat menyakiti dirinya sendiri.

Aslan menabrak pintu keluar rumah sakit hingga terbuka dengan keras.

Napasnya memburu, pening sudah bercampur dengan bisikkan kegilaan yang menggodanya untuk mendekati jalan raya di depan sana.

"Aslan berhenti!"

Namun, dengan menulikkan semuanya, Aslan berlari cepat melewati halaman rumah sakit yang sepi. Malam semakin larut jauh. Dinginnya angin malam membuat gerak langkah Aslan menelan. Tubuhnya lemas, kepalanya berdenyut-denyut menyakitkan.

Dalam pandangan yang mulai mengabur. Langkahnya telah sampai di pinggir jalan besar.

Embusan angin dingin yang menusuk, suara laju kendaraan yang melesat dan seruan Gery yang memekik dari kejauhan, terdengar seperti nyanyian selamat jalan untuknya.

Samar-samar suara truk dari seberang membuat Aslan tersenyum miris. Inilah saatnya. Di mana ia harus mengakhiri segalanya sekarang.

Jika saja dulu ia sudah melakukannya, maka Ibunya takkan semenderita ini. Hanya karena dirinyalah, Ibunya mencoba kuat dan bertahan dengan pil-pil persetan itu.

"Ibu ... tunggu Aslan ya," desisnya sebelum menarik paksa langkahnya ke tengah jalan.

Bersamaan dengan laju truk yang cepat dari seberang.

Brugh!

[—]

A/N

Allo, ill?

Everybody have a choices?

Gimana ceritanya sampe sini?
Aslan tife anak yang benar-benar labil. Malah nggak takut sama sekali dengan kematian.
Mungkin, dalam kepalanya itu, sepele... sekarat~mati~selesai semuanya.

Tapi jalannya berkata lain, selain memberinya arti dari jalan yang ia pilih sendiri.

Vote and komen.....

See ya~

[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This)  [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang