Aslan menerjang jalanan ibukota dengan wajah memar dan memerah padam. Setelah tadi meninggalkan Uka di parkiran sekolah beserta seruan yang tak ia hiraukan sama sekali.Saat ini Aslan sedang tidak bernafsu untuk menelan secul nasehat. Ia ingin sendiri dan lebih hebatnya jika ia mati. Lantas semua ini akan berakhir dengan mudah. Terlintas begitu saja. Mudah namun menyakitkan.
Aslan memacu laju sepeda motornya di jalanan. Menyalip truk-truk penuh muatan. Sekelebat bisikan jika saja sepeda motornya beradu manis dengan truk-truk itu. Rasanya pasti tak lebih menyakitkan dari semua yang telah ia lihat dan dengar. Semuanya berakhir dengan darah dan tubuh yang remuk pastinya. Selagi otaknya tidak hancur berceceran di aspal. Aslan harap mati lebih awal menyambutnya nanti.
"Sial!" Ternyata otaknya masih cukup pengecut untuk melakukan itu. Motornya melaju memasuki blok perumahan yang sangat tak asing.
Berhenti di sebuah bangunan bertingkat dua. Berpagar besi yang dicat hitam metalik tanpa hiasan menarik perhatian.
Beberapa kali ia merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia harus pulang ke rumah? Di saat-saat seperti ini.
Faktanya tak ada lagi tempat yang harus dituju anak berusia 17 tahun yang seperti kehilangan tempatnya berada. Apa yang Uka bilang memang benar adanya.
Aslan melepar tasnya sembarangan, setelah turun dari motornya.
Baru saja niatnya bermalas-malasan mengnjakkan kakinya di teras rumah. Terdengar sebuah berdebatan sengit dari dalam. Pintu rumah terbuka setengahnya. Aslan bisa dengan mudah melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana. Meskipun ia tahu apa yang terjadi.
"Mas, nggak liat apa yang udah Mas lakuin sama aku dan Aslan!"
"Memangnya apa yang aku lakuin sama kalian berdua?"
"Mas jangan buta. Aku tahu apa yang Mas lakuin selama ini? Mas selingkuh, kan?"
Bohong jika Aslan tidak mendengar setiap ucapan yang keluar dari bibir kedua orang dewasa itu. Setiap kata dan fakta yang terungkap yang berselimut manis dalam topeng tuduhan. Bertemakan kecurigaan sudah tidak berlaku.
Aslan membeku di tempatnya. Diam dengan telinga yang terpasang baik-baik. Meskipun batinnya harus rela tercabik-cabik akan kebenarannya.
"Ngomong apa kamu! Sekali lagi kamu bicara hal itu, aku nggak segan-segan bu-"
"Buat apa? Mau tampar aku lagi biar cepet sadar dengan apa yang kamu lakuin? Keterlaluan, Mas, kamu nggak kasian sama Aslan!"
"Kamu belum tahu apa-apa! Aku lakuin semua ini demi kalian berdua! Terutama Aslan!"
"Demi kita katamu? Siapa? Aku, Aslan atau keegoisan Mas sendiri!"
Plak!
Aslan menutup matanya mendengar suara yang menggema menyakiti rongga telinganya, merasuk jauh menalar sebuah rasa perih yang teramat. Jari-jemarinya mengepal. Ada letupan amarah yang merasuk ke dalam tubuhnya. Jika saja saat ini Aslan masih waras untuk tidak membunuh Ayahnya sendiri. Ia pasti sudah melakukannya dengan senang hati.
Lama-lama berada di sana dengan telinga yang merekam baik setiap perdebatan di dalam sana. Aslan berbalik pergi dari tempatnya. Sudah cukup untuk kali ini.
Benar kata bisikan tadi. Mati lebih baik daripada menyakiskan kembali semua ini. Dunia tidak akan membantumu. Ia hanya terdiam bisu menyaksikan dirimu tersayat dan mati secara perlahan-lahan. Sedikit demi sedikit.
Ketidakadilan memang nyata adanya.
Saat Aslan menarik pagar rumahnya terbuka. Aslan menemukan seorang gadis tengah berdiri dengan secarik kertas di tangannya. Aslan tidak memperhatikan lebih detail. Ia ingin mengacuhkannya, karena pasti gadis dengan rambut yang dikepang sederhana itu seperti tengah mencari alamat. Aslan menebaknya asal.
![](https://img.wattpad.com/cover/233252954-288-k79397.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
[-] 00:00 (Thinking [Be] Like This) [END] ✔
Teen Fiction[ DARKTEENLIT (15+) ] 4th - #MOONWAVE_PROJECT ~Mereka hanya pembohong manis dalam topeng rupa-rupa emosi~ Dunia Aslan sudah tak seperti dulu lagi. Setelah ia tahu apa artinya omong kosong dan kenyataan palsu bahwa kedua orang tua, teman-temannya ter...