Mas Ben

78 14 13
                                    

Katanya udah pernah lihat aku baru bangun. Masa wajah setengah poles gini aja kaget. Inginku mencungkil mata mu, Mas!

- Fatia Eka Handayani -


Malamnya setelah Fatia menerima telepon dari Oma Rahma membuatnya yakin mengambil cuti sejenak dari tumpukan pekerjaan yang makin hari kian banyak, kayak dosa aja, pikirnya dengan wajah berkerut kesal.

"Capek juga tiap hari kencannya sama laporan, nih badan juga butuh healing," ucap wanita berparas ayu dengan lesung pipi yang mengintip keluar saat ia tertawa. Kalau kata pacarnya sih, manis alami.

Ia pun teringat jatah cuti tahun lalunya yang belum ia gunakan sama sekali. Mayan nih, dua Minggu, pikirnya tersenyum.

Setelah surat pengajuan cutinya di-ACC, membeli tiket pesawat, dan packing keperluan selama dua minggu, barulah Fatia tersadar ada hal penting yang ia lupakan sejak kemarin, mengabari Beni Pratama, pacarnya.

Gawatttt!! Saking sibuknya ngurus ini itu sampai lupa punya hp. Duh, ngamuk ga yaaa..., Gerutu Fatia dalam hati sembari membayangkan wajah Beni dengan sedikit cemas.

"Halo, Mas Ben? Sepurane ya, aku lali-"
(Halo, Mas Ben? Maaf ya, aku lupa-)

Beni lebih dulu menyanggah ucapan pacarnya. "Aku di jalan. Ga lama lagi nyampe sana. Ku matiin ya, lagi nyetir."

Tuutt tuutt...

"HA? SEK TO, MAS! AKU RUNG ADUS, SEK KEMRINGET, KOK WES AREPE MERENE? HALO? MAS BEN?! YUALAH, KOK DIPATENI SEH, PAIJO!" Rutuk Fatia yang tidak terima Beni tiba-tiba main ke rumahnya secara mendadak.
(HA? TUNGGU DONG, MAS! AKU BELUM MANDI, MASIH KERINGETAN, KOK UDAH MAU KE SINI? HALO? MAS BEN?! YUALAH, KOK DIMATIIN SIH, PAIJO!)

Tidak lama kemudian. Bedak belum sepenuhnya rata dengan lipstik berantakan, namun pintu rumah Fatia sudah diketuk oleh seseorang. Pasti Mas Ben, pikirnya.

Dengan cepat Fatia berlari mengambil ponselnya dan menghubungi pemilik ponsel yang tengah mengetuk pintu rumahnya. Baru saja telepon tersambung, suara ngegas Fatia lebih dulu mendominasi percakapan.

"Mas Iki piye toh? Kan aku wes ngomong nek rung adus! Kok wes di apeli seh? Pokok kudu gelem ngenteni sek, lima menit la-"
(Mas ini gimana sih? Kan aku dah bilang kalo belom mandi! Kok udah di apelin? Pokoknya harus mau nunggu dulu, lima menit la-)

Beni yang sudah hafal dengan sikap Fatia segera menyelah omelan panjang pacarnya. "Walah, ga usah, Yang. Aku udah tau wajah mu kalau baru bangun kayak apa. Kita juga sering olahraga bareng, soal keringet nggak masalah. Mending bukain aja pintunya."

Fatia membuang nafas dengan kasar. "Ya, sek, aku keluar," di detik berikutnya Fatia melangkah ke arah pintu rumah dan membukanya.

Beni melotot dengan dahi mengkerut dan alis sedikit terangkat. Reaksi seperti ini sudah Fatia duga sebelumnya.

"OPO?!" Tanya Fatia ketus. Bukannya bagaimana, Fatia hanya kurang suka dengan respon Beni tentang penampilannya yang setengah jadi ini, mengecewakan.

Katanya udah pernah lihat aku baru bangun. Masa wajah setengah poles gini aja kaget. Inginku mencungkil mata mu, Mas!. Dumel Fatia dalam hati.

"Sayang, kamu nggak berpikir mau nyungkil mata ku, toh? Tatapannya kok serem gitu ya," ujar Beni bergidik ngeri sembari mengusap tengkuk.

"Kalo iya, kenapa?! Salah mu sendiri nyuruh aku keluar padahal bedak masih setengah poles. Lihat ini, Mas! Rambutku masih lepek karena keringet. Awas aja kalo kamu ngeluh bau, ku ketekin baru tau rasa!" Ancam Fatia kesal dengan mata melotot tajam.

Ancaman Fatia membuat Beni menggaruk kepala, walau sebenarnya tidak gatal. Beni orangnya pembersih dan wangi. Sudah pasti bebas kutu dan ketombe, itu hanya tindakan reflek karena bingung dengan sikap pacarnya yang sedang 'mode galak'.

Beni bingung harus bagaimana agar Fatia kembali kalem tanpa cemberut seperti sekarang, bagaimanapun ada hal penting yang harus ia tanyakan pada pacarnya.

"Sayang, habis ini kita bicara di mobil ya? Ini kuncinya, kamu masuk duluan. Aku mau ke Alfa dulu nyari asupan. Kamu pasti belum makan, kalau udah makan ga mungkin galak kayak gini." Ucapan Beni mampu membuat pipi Fatia menghangat.

Pengertian, simpul Fatia.

Beni selalu bisa meredakan emosinya, walau dengan hal sederhana sekalipun, seperti sekarang. Bahkan pacarnya lebih paham waktu makannya daripada dirinya sendiri. Orang Jawa sih bilang 'ngopenian'.

Fatia bersyukur memiliki Beni. Sangat.

Beni yang sudah melangkah hendak ke Alfamart tertahan dengan panggilan halus pacarnya. "Mas?"

"Dalem. Kenapa? Mau request sesuatu?" Tanya Beni yang tengah menoleh dengan serius.

"Nggak ada. Cuma mau bilang hati-hati, di depan lagi rame."

Hanya beberapa kata dengan untaian senyum sebagai pemanisnya, namun sudah mampu membuat jantung Beni memacu lebih cepat dari biasanya.

Senyum tulus dari Fatia mampu menyihirnya yang juga reflek tersenyum. Virus senyum ala Fatia emang ga pernah gagal, pikir Beni masih terkagum.

"Siap, nyonya Fatia Pratama!"

Fatia yang tahu nama belakangnya diganti menjadi nama belakang Beni membuat pipinya berkedut dan ingin tersenyum. Tapi gengsinya sedang melangit dan meroket.

"Enak aja ganti nama orang sembarangan! Udah sana ke Alfa, aku laper belom makan loh, Mas!" Omelnya yang dibaluti gengsi sampai ke tulang-tulang.

Wanita memang begitu, kalau sudah salah tingkah namun gengsi terlihat baper, memilih menutupi dengan mengomel.

✨✨✨

Makasih ya, udah jadiin Omwille Van Oma teman gabut kalian:)

Omwille Van Oma (Demi Oma)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang