Hadiah

28 6 9
                                    

Dua nak, ada yang besar juga ada yang kecil.

- Oma Rahma  -

Keluarga Oma Siti tiba lebih dulu, terlihat asyik berbincang dengan keluarganya, namun tersenyum ramah saat keluarga Oma Rahma masuk dan mulai menyapa.

Dibanding bercengkrama Fatia lebih dulu dibuat takjub dengan ruangan yang katanya disewa Omanya selama tiga jam ini. "Kak, lebar banget! Serasa numpang makan diruang makannya sultan! Interiornya juga astaga.. kayak model kerajaan jaman dulu! Cocok nih buat cekrek-cekrek!" Pekik Fatia pelan setengah berbisik pada Rima.

Kedua iris matanya masih menatap kagum pada ruangan yang ia pijaki.

"Plis ya, nggak usah norak! Situ tinggalnya dikota lho bukan hutan belantara, lihat ginian kok kesannya ndeso bangat ya,"

"Beuuhh.. pedes amat non! Situ abis makan cabe berapa kilo?!"

"Se-ton!"

"Nggak heran sih!"

Tunu yang melihat kedua adiknya mulai lupa tempat dengan atraksi adu mulutnya, segera melerai dengan merangkul kedua pundak Rima dan Fatia, menuntun mereka ke kursi disamping Omanya.

Oma Rahma di kanan, Tunu di kiri Omanya, selanjutnya Fatia lalu Rima.

Adu mulut dengan Rima seperti makanan sehari-hari bagi Fatia. Jika bertemu Rima tanpa cekcok terasa ada yang kurang. Begitu pula sebaliknya. Dan Tunu harus mengikhlaskan diri menjadi pihak netral untuk kedua adiknya yang masih sedikit labil.

Fatia cukup mengenal anggota keluarga Oma Siti, bahkan salah satu dari cucu Oma Siti teman se-permainannya dulu semasa kanak-kanak, dan dua cucu lainnya kakak kelasnya semasa merah putih.

Setelah saling menyapa dan berbasa-basi, kemudian menanyakan kabar anggota keluarga yang berhalangan hadir seperti kedua orang tuanya juga orang tua sepupunya. Para Oma pun melipir ke pembahasan pribadi mereka, anggap saja dunia seputar para Oma.

Anak Oma Siti, tante Rani, juga cucunya, Siska. Memilih memainkan ponsel masing-masing sembari menanti keluarga Oma Lasmi. Sedang Tunu dan Rima sudah memisahkan diri ke pojok ruangan.

Fatia berdecak kesal lalu membuang muka ke arah yang berlawanan dengan posisi kedua sepupunya. 'Tadi dikatain norak, sekarang malah dirinya yang pose-pose sok selegram dipojokan. Makan tuh norak! Makan!'

"Tia," panggil Omanya yang telah duduk dikursi yang Tunu tempati beberapa menit lalu.

"Iya, Oma. Kenapa?" Tanya Fatia sembari menoleh menatap Omanya dengan senyum simpul. Seketika kesalnya pun hilang.

"Ingat tidak dengan janji Oma?"

Fatia menggalih ingatannya namun nihil, alisnya pun tertaut pertanda bingung karena tak ingat.

Oma Rahma yang paham sifat pelupa cucu bungsunya pun tersenyum sembari mengelus pelan kepala Fatia. "Perihal kejutan,"

Fatia meringis sedikit malu sembari merutuk diri karena sikap pelupa akutnya. "Oh iya, kejutan! Oma mau ngasih Fatia hadiah, kan? Mana Oma? Dibawah ke sini kejutannya? Kenapa nggak dirumah aja?" Tanya Fatia bertubi.

Oma terkekeh gemas. "Tunggu Oma Lasmi dulu,"

"Maksudnya?" Fatia mulai menerka-nerka, "Hadiahnya dibawah Oma Lasmi kah? Kenapa nggak langsung dari Oma aja?"

Fatia mulai senyam-senyum mengerikan, imajinasinya mulai mendominasi otaknya. "Hadiahnya besar kah Oma? Dugaan Tia pasti besar ya? Iya, kan? Benar kan Oma? Pantas aja, dititipin ke Oma Lasmi."

Omwille Van Oma (Demi Oma)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang