"Idiiihh, manjanya!"
"Udah Rim, emang susah ngomong sama cucu termuda."
- Rima & Tunu -
"Hmm.. hawanya emang beda, banyak kenangannya!" Ujar wanita dengan senyum bahagia yang merekah disudut bibirnya, Fatia Eka Handayani.
Fatia menghirup udara disekitarnya, memberi pengisi ruang untuk paru-parunya dengan menikmati sepoi angin sore yang membelai lembut kulitnya.
"Manado, i'm comeback.." Gumamnya dengan senyum tulus yang masih tercetak jelas di wajahnya, juga dengan lesung pipi yang menyembul keluar dengan manis.
Sembari menenteng tas dan berjalan ke depan pintu rumah Omanya, Fatia juga melempar pandang pada kebun halaman depan yang terlihat rapi dan cantik.
Benar-benar manjain mata. Ini nih yang ku butuhin bukan tumpukan pekerjaan dan lembur dadakan yang bikin stres! Kasian Mas Ben nggak bisa lihat yang seger kayak gini, Batin Fatia.
Itulah Fatia, dimana pun dia berada selalu memikirkan Beni. Hanya saja gengsinya yang selangit itu yang membuatnya hampir tidak pernah secara gamblang menunjukkan rasanya pada Beni. Jarang, dan bisa dihitung jari.
Berbanding terbalik dengan Beni Pratama, pacar Fatia. Justru pemuda itulah yang selalu mengekspresikan rasanya pada Fatia.
Pemuda mapan dan tampan yang banyak digandrungi wanita itu memilih melabuhkan hatinya pada sosok wanita karir yang terlihat cuek tapi tegas, terasa dingin namun hangat, galak tapi penyayang, keras kepala juga konsisten, benar-benar tipe Beni.
Belum sempat mengetuk pintu, Oma Rahma dan juga sepupu Fatia lebih dulu muncul dan mengejutkannya.
Salahkan Fatia yang tiba-tiba melamun di depan pintu.
"Astagfirulloh! Oma dan kak Rim ngangetin aja!" Pekik Fatia yang masih kaget.
Fatia ingin pura-pura kesal namun rindunya meronta-ronta ingin diusaikan.
Melepas tas dan segera berhambur ke pelukan Oma Rahma. Memekik histeris agar tak terlihat sedih karena menahan haru. "Omaaaa!! Fatia lama banget nggak ketemu Oma. Dua tahun? Tiga tahun? Ah bukan, lima tahun. Oma sehat-sehat aja kan? Jadi lupa rasanya dipeluk Oma kayak gimana."
"Tia, Omamu ini sudah tua, nak. Tolong kasihani telinga Oma, suara nyaring mu seperti toak masjid saja, Oma tidak sanggup." Dikatai seperti itu oleh Omanya membuat Fatia reflek menjauhkan diri dan cemberut.
"Oma sengaja ya buat Fatia kesal?" Tuduh Fatia dengan bibir yang masih manyun.
"Oh begini rupanya jika cucu termuda Oma lagi ngambek? Pantas saja belum laku, model marahnya jelek begini! Ya sudah Rim, ajak adik mu masuk biar bibirnya tidak semakin panjang."
Belum laku? Iya. Oma Rahma belum mengetahui hubungan cucunya itu. Fatia memilih tidak mengenalkan Beni lebih dulu pada keluarganya selain pada orang tua juga abangnya.
Bukan tidak mau. Fatia rasa belum saatnya. Tunggu Beni melamar saja sekalian Fatia kenalkan pada keluarga besarnya.
Fatia menoleh pada sepupu yang beda setahun dengannya, saling menyapa dan berpelukan melepas rindu. Lima tahun tidak bertemu tidak membuat mereka renggang dan canggung. Justru terlihat akrab dan seru.
Selepas mandi,Fatia memilih berjalan ke teras belakang, melihat jejeran pohon buah yang ditanamnya dengan Oma juga Almarhum kakeknya sewaktu kecil dulu.
Matanya tak lepas dari buah-buahan siap petik yang tengah menggantung indah di pohon.
"Sepertinya Oma dan kakak belum panen, padahal buahnya udah ngode minta dipetik." Ucapnya. Kedua tangan Fatia terasa gatal ingin memetik langsung buah-buahan segar di depan matanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Omwille Van Oma (Demi Oma)
Literatura FemininaMerasa jenuh dengan pekerjaan sekaligus butuh liburan membuat wanita berumur dua puluh empat tahun itu mengajukan cuti lalu melipir ke kota masa kecilnya. Fatia Eka Handayani, wanita karir yang keras kepala namun penyayang itu sangat antusias saat O...