Ngomongnya nggak papa tapi matanya berkaca-kaca. Yakin masih mau bohong?
- Fatia Eka Handayani -
Setelah melewati drama ala Beni, kini Fatia sudah diperbolehkan check-in oleh pacarnya."Mbok ya dari tadi toh Mas, kan nggak enak diliatin banyak orang. Kayak mau ngelepas bocah SD aja, wejangannya panjang banget," omel Fatia tanpa sadar. Niatnya ingin ia dumelkan dalam hati namun kelepasan hingga ke telinga Beni.
Wejangan itu semacam petuah dan nasihat. Tapi bagi Fatia wejangan dari Beni adalah omelan panjang untuknya tanpa henti.
Sejak kemarin Beni ngotot menawarkan diri untuk mengantarkan Fatia ke Bandara. Ralat, bukan menawarkan namun memaksa. Fatia sempat menolak dengan berbagai alasan. Namun Beni dengan keras kepalanya tidak akan semudah itu menyerah.
Dengan alibi pertemuan terakhir sebelum Fatia ke Manado lah, demi memastikan keselamatan sang pacar lah, bahkan sampai alasan tidak masuk akal seperti mengisi vitamin rindu sebelum merasa kangen dan alasan lainnya.
Akhirnya dengan berat hati Fatia mengiyakan tawaran Beni.
Bukannya tidak ingin diantar oleh pacarnya sendiri, tapi hal seperti ini sudah ia pertimbangkan sebelumnya.
Dan benar saja, setelah berpamitan pada orang tua dan abangnya, Beni langsung melancarkan aksi ultimatumnya sepanjang perjalanan menuju Bandara.
Ujian untuk telinga Fatia belum juga usai. Sesampainya di Bandara Juanda, Beni melarang Fatia check-in lebih dulu dan harus mendengarkan wejangan panjangnya, lagi.
Untungnya sudah berakhir, setidaknya indera pendengarannya tidak perlu memanas lebih lama.
"Sekarang aku pamit dulu ya? Nggak usah gitu wajahnya nanti makin jelek!" Ujar Fatia melihat Beni yang masih cemberut.
Beni kembali memberi wejangan, seakan yang tadi belum cukup juga baginya. "Kalo udah sampai jangan lupa kabarin. Ponselnya jangan sampai mati biar aku telponnya gampang. Kalo ada yang deketin cuekin aja. Titip salam buat Oma, bilang dari calon suami cucunya. Terus kalo-"
Fatia heran kenapa hari ini Beni jauh lebih cerewet dari hari sebelumnya. "Mas, salah makan ya tadi?"
"Nggak tuh, cuma minum madu sama vitamin C. Sarapannya nanti aja kalo mau ke kantor, seperti biasanya nggak ada yang beda. Kenapa?"
"Kupikir tadi makan pisang."
"Kok pisang?"
"Iya, pisang. Kata orang-orang kalo paginya makan pisang setelah itu bakal cerewet seharian, kayak sekarang nih buktinya."
"Ha? Mana ada kayak gitu. Lagian siapa sih yang cerewet?" Beni makin tidak paham apa maksud Fatia. Dan apa hubungannya dirinya dengan pisang?
"INI LHO, MAS. TROLINYA YANG CEREWET DARITADI!"
Kesabaran Fatia yang setipis tisu dibelah dua kian terkikis.
"Kok ngegas, sih? Sejak kapan troli bisa ngomong? Jangan aneh deh sayang."
Pacarku ini kenapa, sih? Kok makin nggak nyambung, pikir Beni bingung.
"Anu Mas, kayaknya kamu harus minum obat peka dulu baru ngomong lagi sama aku. Ya udah, aku pamit dulu. Jaga diri, jaga kesehatan, jaga pola makan."
"Tunggu, kok obat peka? Aku kurang peka apa? Perasaan tiap kamu ngode aku langsung paham."
"Astagfirulloh, Mas! Ya udah lupain. Aku pamit." Fatia semakin greget dengan sikap Beni yang menyebalkan ini.
Fatia yang hendak mendorong troli berisi barang-barangnya lagi-lagi harus terhenti karena ulah Beni.
"KOK DITAHAN LAGI SIH TROLINYA?!" Tanya Fatia setengah menyentak, ia sudah lelah mendengar ocehan Beni sejak tadi.
Beni yang tidak menyangka Fatia akan marah seperti itu lebih memilih diam dan menarik tangannya dari pegangan troli.
Disisi lain Fatia merasa bersalah karena menyentak pacarnya.
ini bukan sepenuhnya salah Beni, ia hanya lebih sensitif hari ini karena tamu bulanannya yang mendadak datang subuh tadi. Belum lagi nyeri haid yang membuat perut dan pinggangnya terasa sakit juga linu.
"Mas, aku harus check-in lima belas menit lagi. Tapi nggak mungkin juga aku ninggalin kamu dalam keadaan kayak gini. Jadi kita duduk dulu ya, kita omongin baik-baik."
Melepas Fatia walau cuma dua minggu adalah hal yang sulit bagi Beni. Entah kenapa kali ini hatinya terasa lebih berat. Namun membatasi ruang lingkup Fatia juga bukan hal yang baik.
Beni menyunggingkan senyum seadanya. "Nggak usah, Yang. Kamu masuk aja ke dalam."
"Mas Ben marah ya? Kok responnya gitu?" Fatia benar-benar merasa bersalah.
Fatia merasa ada yang harus ia perbaiki sebelum pergi, hubungannya tidak sedang baik-baik saja sekarang.
Beni tersenyum masam. "Nggak."
"Bohong!"
"Nggak bohong kok, serius. Masuk gih, bentar lagi harus check-in kan? Ya udah sana, aku liatin dari sini sambil senyum."
Melihat Beni seperti ini justru membuat Fatia merasa sedih, separuh dari dirinya merasa tidak rela meninggalkan Beni.
Padahal sebelumnya mereka sempat beberapa kali LDR keluar kota karena tugas kantor. Walau beda divisi dan beda gedung, mereka tetap dibawah satu naungan perusahaan yang sama.
Fatia mendorong trolinya, sedikit lebih maju dari posisi sebelumnya. "Mas kenapa? Jangan gitu dong wajahnya, aku nggak tega."
"Aku nggak papa."
Fatia melepas trolinya dan melangkah lebih mendekat pada Beni, memeluk erat tubuh tegap pacarnya dan meyakinkan diri, hanya dua minggu dan semua akan baik-baik saja.
Beni yang belum siap ketika Fatia mendadak menabrak tubuhnya sedikit terjengkang kebelakang, namun kembali menyeimbangkan diri.
"Sayang, belajar bohong dari mana?" Tanya Fatia sedikit mendongak kearah wajah Beni.
Beni yang tidak mengerti maksud pacarnya hanya bisa mengernyit.
"Ngomongnya nggak papa tapi matanya berkaca-kaca. Yakin masih mau bohong?"
"Yah, ketahuan, haha..." Beni menyamarkan getaran suaranya dengan tawa yang dipaksakan. Namun tetap saja seperti orang yang menahan tangis.
Fatia yang hendak beranjak dan melihat wajah Beni tertahan oleh tangan kekar Beni yang merengkuh pundaknya. Beni menenggelamkan wajahnya dipundak Fatia.
Dengan memberi elusan juga tepukan halus dipunggung Beni, Fatia harap pacarnya ini bisa lebih tenang.
Lagipula hanya dua minggu, semua akan baik-baik saja. Walau hatinya sendiri pun merasa sedikit ragu.
💕💕💕
Sampai ketemu dinext part😊
------
Apapun dan bagaimana pun kondisinya, jangan lupa tersenyum hari ini😊

KAMU SEDANG MEMBACA
Omwille Van Oma (Demi Oma)
Literatura FemininaMerasa jenuh dengan pekerjaan sekaligus butuh liburan membuat wanita berumur dua puluh empat tahun itu mengajukan cuti lalu melipir ke kota masa kecilnya. Fatia Eka Handayani, wanita karir yang keras kepala namun penyayang itu sangat antusias saat O...