O1: green tea and coffe - lokal

2.2K 163 8
                                    

Jika di hitung-hitung sudah selang setengah jam lebih Aya menunggu kedatangan seseorang dalam sebuah cafe yang tak begitu ramai pengunjung ini.

Kalau di pikir kembali, siapa yang ingin berlama-lama dalam sebuah cafe dalam keadaan hujan deras tak tanggung dengan angin kencang. Lebih baik Aya bergelung dengan selimut yang senantiasa memberi kehangatan.

"Hei, menunggu lama?"

Tampang acak-acakan, pakaian atas yang hampir basah kuyup, dan senyum tak berdosa di berikan sang pemuda kepada gadisnya.

"Menurut kakak 30 menit itu waktu yang lama atau cuma sebentar?" Aji tergelak seperti tak ada hal serius yang terjadi.

"Apa anak kuliahan emang sesibuk itu? Semenjak kakak jadi anak kuliahan kalau janjian ketemu kerjaan telat terus."

"Kamu bisa merasakan setelah ini. Habis ini lulus kan? Memang menjadi siswi kelas 12 tidak sibuk?"

"Aku masih kelas 12 semester 1, kata guru sekolah sih semester terakhir baru bakal ngerasain sibuk yang sebenarnya."

"Belum pesan apapun?" Gelengan kepala adalah jawaban yang Aji terima. Lelaki itu mengangkat lengan kanannya untuk memesan.

"Green tea satu, espresso satu." Aji terlewat ingat minuman apa yang Aya suka. Memberikan menu kembali, kini perhatian Aji terfokus sepenuhnya pada Aya.

"Kak Aji kenapa suka kopi?" Aji tersenyum.

"Kamu sendiri kenapa suka teh hijau?" Bergaya bak orang memikir, Aya meletakkan jari telunjuknya pada dagu sambil mengetuk-ngetuk.

"Mmm. . . menurut aku selain teh hijau itu sehat untuk kesehatan, aroma nya menenangkan. Mungkin sebagian orang tidak menyukai rasa teh hijau yang yah kakak tahu sendiri, pahit. Tapi aku udah terbiasa. Apalagi minum teh hijau waktu hujan gini di kamar pakai selimut. Aku jadi pengen pulang."

Raut mimik Aya berubah menjadi sedikit sendu. Tak tahu kenapa ia menjadi serindu ini untuk cepat pulang. Tapi bertemu Aji adalah hal yang ia nantikan pula. Karena saat Aji mulai memasuki sekolah perguruan tinggi, intensitas pertemuan Aya dengan Aji menjadi ikut berkurang.

Jika semasa SMA mereka masih bisa untuk berangkat dan pulang bersama kali ini lain hal lagi. Jadwal kuliah yang dimiliki Aji tak mendukung untuk ia bisa mengantar dan menjemput Aya. Untuk pertemuan seperti ini saja ia masih terlambat. Dosen yang mengajarnya tadi memberi sedikit tambahan materi yang menurut Aji itu membosankan.

"Aya hei lihat kakak." Aji menangkup kedua tangannya pada wajah Aya. Langsung saja Aya terfokus pada kedua bola mata Aji yang meneduhkan.

"Maaf ya? Kakak ga bisa nganter kamu pulang sekarang karena hujan. Kakak bawa sepeda, bukan mobil. Kalau reda nanti kakak antar kamu pulang langsung."

"Tapi aku masih kangen sama kak Aji." Entah sadar atau tidak bibir Aya mengerucut dengan sendirinya seperti anak kecil tak di turuti permintaan. Aji yang memandang pun tak urung tersenyum lebar, ia juga rindu bahkan sangat kepada kekasih gemasnya satu ini.

"Kalau tadi kamu pengen pelukan hangat selimut, gimana kalau pelukan hangat kakak aja?" Perkataan Aji lantas membuat Aya mencubit kecil lengan Aji.

"Hiiih gatau tempat ya mahasiswa satu ini."

"Yang terpenting kamu tahu, pelukan kakak ga kalah hangat sama pelukan selimut kamu."

Tawa mereka berderai. Dasar, pasangan di mabuk kasmaran. Pesanan mereka telah selesai di sajikan. Memberi pasangan itu jeda untuk meminum sejenak sebelum memulai obrolan kembali.

"Kak Aji belum jawab pertanyaan aku. Kenapa kakak suka kopi?" Terlihat Aji meletakkan minumannya, ia melipat bibir ke dalam merasakan rasa kopi yang telah ia teguk.

"Kakak suka kopi karna kopi itu cocok menjadi teman begadang, teman ngegame, apalagi di gabung sama sebungkus rokok."

"Kak Aji!" Alis Aya mengerut pertanda tak suka dengan apa yang di ucapkan Aji. Aya tahu perihal Aji yang menyukai batang candu bernikotin tersebut. Tapi selama ini ia diam, ia tak ingin di cap menjadi pacar yang suka mengekang.

Aya diam bukan berarti ia tak mengkhawatirkan kesehatan Aji. Saat ia melihat Aji merokok dengan teman seperkuliahannya ia akan menyingkir, menilik udara segar atau hanya berasalan pergi ke toilet. Aya sedikit tak senang melihat Aji yang menyesap batang rokok lalu mengepulkan asap melalui kedua celah bibir.

"Aku gamau dapet label pacar yang suka ngekang. Tapi aku ga suka liat kakak terus- terusan begadang, minum kopi, ngerokok. Senggaknya kakak perhatikan kesehatan kakak. Jangan membuat aku khawatir berlebihan dengan kesehatan kak Aji."

Aya menangkup kedua wajahnya. Ia ingin menangis saja, tidak tahu kenapa hari ini ia sensitif sekali.

"Hei hei hei, sayang." Aji meleraikan kedua tangan Aya yang menutupi wajah manis Aya. Wajah gadisnya memerah menahan tangis. Mata meneduhkan itu terlihat mengembun.

"Maaf hm? Aku bakal usaha buat jaga kesehatan selalu. Demi kamu."

"Bukan demi aku! Tapi demi kebaikan kakak sendiri."

"Iya, udah ya? Jangan nangis." Aji mengelap kedua sudut mata Aya yang berair.

"Lebarin tangan kakak dong." Permintaan sederhana, Aji kabulkan. Tangan Aya kemudian bersanding dengan tangan kekar sang pemuda.

"Kenapa ya, rata-rata tangan laki-laki itu selalu keliatan lebih gede dari perempuan. Kak Aji tahu?"

"Karena sudah menjadi tugas seorang lelaki untuk menjaga dan melindungi tangan yang lebih mungil. Karena tangan kamu lebih mungil, jadi kamu menjadi tanggung jawab kakak, untuk selalu ngelindungin kamu. Kaya gini ─"

Tangan lapang Aji, dengan hangat menautkan tangan dalam sela jari Aya. Ini membuat Aya malu sekaligus merona. Apalagi saat ia melihat senyum manis seorang Bayuaji. Jantungnya serasa akan meledak.

"Kak Aji."

"Hm?"

"Kak Aji hanya cukup tahu kalau aku sayang kak Aji semenjak kemarin, kini, dan esok insyaallah, hehe. Kalau tuhan mengijinkan."

Senyum manis Aya pun kelemahan terbesar seorang Bayuaji. Lihat bagaimana sekarang, Bayuaji yang terenyuh dengan gadis sederhananya.

Green tea and coffe (end)

________________________________

Maap banget kalau garing T.T karna perhitungan awal ku pacaran itu harus terbuka dengan waktu yang seperti ini awokowk. Punya waktu berdua hanya untuk sekedar berbagi cerita, mwehehe. Sampai ketemu di chapter selanjutnya ;)

Gulir WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang