14: candramawa - Yeri

695 82 10
                                    

Kim Ye-Rim

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kim Ye-Rim.

***

Halo, namaku Kim Ye-Rim. Dan aku tunanetra.

Aku kehilangan penglihatanku di usia sekolah dasar. Kecelakaan. Menewaskan Ibuku dan meraibkan salah satu indraku.

Aku sekeluarga menetap di sebuah perumahan salah satu kota. Kami hanya hidup bertiga. Aku, Uti (nenek), dan Ayah yang sangat aku sayangi.

Tidak pernah ada keinginan untuk menikah kembali dalam benak Ayah. Beliau selalu berfokus bekerja untuk membiayai kehidupan aku dan Uti. Ayah pikir keberadaan Uti sudah sangat membantu menjagaku. Dan aku juga bersyukur karena di kelilingi orang-orang baik.

Kami bukan berasal dari keluarga kaya raya. Hidup keseharianku juga sederhana. Semua serba berkecukupan, tapi tidak berlebihan.

"Ti, aku jalan dulu ya."

"Hati-hati. Bekalnya sudah dibawa nduk?"

"Iya Uti, udah!" aku meraba-raba meja guna mengambil tongkat kemudian meluruskannya agar menjadi semakin panjang.

"Uti, ini gorengannya aku bawa ya? Buat di bagiin ke temen-temen."

"Iya bawa aja disini masih banyak." ku dengar teriakan Uti dari belakang.

Oh, ya! Aku juga bersekolah. Sekolah Luar Biasa (SLB) yang di peruntukkan bagi anak berkebutuhan khusus. Setelah dokter mendiagnosis jika aku mengalami kecacatan fisik, lantas Ayah memberhentikan ku dari sekolah asal. Lalu segera mencari tahu mengenai pendidikan inklusi.

Aku sangat bersyukur kota ini menyediakan Sekolah Luar Biasa. Karena SLB ini tidak menyebar rata di seluruh negeri. Itupun hanya ada beberapa, kota yang ku tempati salah satunya. Aku menjadi senang sebab masih bisa mendapat pendidikan kembali.

Apa aku menerima dengan lapang dada mengenai kebutaan ini?

Dulunya tidak. Kala usia 9 tahun, aku menangis. Meraungkan kata-kata bahwa aku membenci kehidupanku. Membenci Ayah, semuanya. Tiba-tiba menjalani kerasnya hidup yang mendadak gelap gulita, sangat menakutkan untuk diterima.

Aku bernapas tapi tanpa penglihatan, semua terasa hampa. Tidak ada lagi awan putih cerah yang dapat aku saksikan kala menengadahkan kepala. Tidak ada lagi senyuman mentari Ayah. Tidak ada tontonan acara televisi setiap pagi. Aku benci membayangkan semuanya.

Itu aku sebelum memasuki Sekolah Luar Biasa. Hari pertama aku menjadi pribadi yang sangat pendiam. Berkebalikan dengan aku yang biasanya selalu tersenyum ceria.

Guru disana selalu memberi aku dukungan, motivasi hidup. Sampai aku berbaur bersama beberapa teman. Dan mereka juga menceritakan bagaimana kebutaan menimpa mereka.

Gulir WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang