O5: worried - lokal

1K 105 0
                                    

Ini sudah hari ke 7 dimana Ira, kekasih Bayu tidak dapat di hubungi. Gundah gulana selalu mengelilingi atmosfer sekitar Bayu setiap ia berangkat menuju kampus.

Bayu seorang pemuda rantau asal kota Batu yang menempuh pendidikan perguruan tinggi di daerah istimewa Yogyakarta, Universitas Gajah Mada.

Di daerah asal Bayu ia memiliki seorang kekasih mungil manis dan menggemaskan. Kekasih saat ia masih duduk di bangku sekolah akhir semasa SMA. Memang benar, long distance relationship tidak mudah untuk di jalani. Tapi Ira dan Bayu sama sama memberi kepercayaan. Saling menyayangi, saling percaya, saling terbuka satu sama lain.

Libur semester panjang di depan mata. Bayu tidak sabar untuk pulang ke kampung halaman. Empat puluh persen merindukan keluarga, sisanya hanya Ira yang berkelana dalam fikiran Bayu.

"Dadi pulang kapan to Bay?" Yang bertanya ini Gilang, teman satu fakultas dengan Bayu sekaligus teman tongkrongan Bayu.

"Entar aku tak budhal pas bengi." Gilang hanya menyaut dengan menganggukkan kepala. Ia menepuk pundak Bayu mengucapkan kata hati-hati dan pergi dari warung tongkrongan yang sedang mereka duduki.

Bayu masih terpangu dengan tatapan kosong. Ira-nya kemana? Gadis-nya kemana? Kekasih-nya kemana? Pacar-nya hilang kemana? Berlanjut seperti ini sampai ia berada dalam kereta api menuju kampung halamannya.

Di stasiun ia di sambut oleh keluarga yang pasti merindukan Bayu. Netra Bayu menelisik, dimana Ira? Apa karena terlalu mungil hingga ia tak terlihat?

"Aduh makin ganteng ae kamu le." Fokus Bayu seakan terbelah ia tersenyum kikuk kepada sang ibu yang baru saja memuji.

Ibu Bayu menangkap kegusaran pada wajah Bayu. Ia hanya tersenyum simpul. "Ayo bang pulang dulu istirahat pasti capek kan?"

Bayu tersenyum singkat dan menganggukkan kepala. Setelah ini ia akan membersihkan badan dan langsung menuju rumah Ira.

Sesampainya di rumah ia bergegas, cepat-cepat membersihkan diri dan akan segera pergi ke rumah Ira.

"Abang mau kemana?" Bayu menoleh baru saja ia akan memasang sepatu.

"Ke rumah Ira bun." Fokusnya kini teralihkan pada sepasang sepatunya kembali.

"Emang Ira ga ngasih tahu abang?" Kegiatan mengikat tali sepatu Bayu yang semula terburu kini menjadi tempo yang lambat. Kedua alisnya berkerut.

"Dia udah ga ngasih kabar lagi sama Bayu seminggu sebelum Bayu pulang kesini."

"Ira lagi di luar kota. Dia di rujuk ke rumah sakit spesialis yang lebih bisa nanganin penyakitnya. Kamu tahu kan Ira punya masalah sama paru-parunya? Dan akhir-akhir ini sering kambuh."

"Kenapa Ira ga ngabarin aku sama sekali bun? Bunda juga ga ada ngabarin aku seminggu terakhir ini." Ibu Bayu menghela nafas yang terasa berat. Ia sudah menduga reaksi Bayu akan menjadi seperti ini.

"Ira ga mau buat kamu khawatir. Bunda butuh waktu yang pas buat bilang sama kamu." Raut keputus asaan terlihat kentara dalam mimik wajah bayu.

"Justru dia yang ga ngabarin aku sama sekali, bikin aku khawatir bun."

Bayu berdiri, bergegas keluar rumah menyalakan sepeda motor matic yang biasa ia pakai dan perlahan menjauh dari pekarangan rumah. Tak mengindahkan panggilan sang ibu yang menyerukan namanya.

Suara sepeda motor matic Bayu perlahan meredup. Ia masih menetap di atas sepeda motor yang ia tumpangi. Dengan tatapan lara menatap sebuah fondasi rumah sederhana yang dulu semasa ia SMA sering di kunjungi kini sepi.

Gulir WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang