Chapter 4

300 209 81
                                    

"Aku adalah aku! Dan tidak akan mungkin bisa seperti dia ataupun mereka! Karena yang seperti aku tidak akan ada!"
⭐⭐⭐

Setelah melaksanakan sholat Isya, aku mulai berkutik dengan tugas-tugasku di kamar. Bukan hanya aku saja, tetapi juga ada Syifa yang tengah belajar di atas tempat tidur. Sementara aku di meja belajar, karena aku tidak bisa menulis sambil menelungkup. Kita tidak saling bicara dan sama-sama fokus dengan tugas masing-masing.

"Syah, dosen baru itu ganteng yah." Kata Syifa buka suara.

Sejenak aku menghentikan gerakkan pulpen ku, kemudian melanjutkannya lagi dan berkata, "Trus kenapa kalo ganteng, kamu suka?" Tanyaku tanpa menoleh.

"Lumayan tertarik sih.. Dia itu cool, keren, bijak mungkin, masih muda udah sukses!" Jawab Syifa memuji Prof. Hafiz.

Aku hanya menyumbingkan sedikit senyumku setelah mendengarnya, kemudian menoleh padanya, "Kalo seandainya dia juga tertarik sama kamu, trus dia ngajak kamu nikah, gimana? Apa kamu mau?" Tanyaku.

Aku melihat Syifa tersenyum sebelum akhirnya dia menjawab, "Mana mungkin bisa secepat itu, Syah. Aku kan udah janji sama almarhum Mama Papa, kalo aku gak akan nikah sebelum wisuda. Entah itu wisuda S1, atau S2. Lagiankan prinsip aku gak akan terima pria manapun sebelum aku mendapatkan gelar sarjana." Jawab Syifa serius.

Jika itu adalah prinsip Syifa, maka prinsipku adalah tidak akan pacaran sebelum halal.

Dulu Bunda pernah bilang, kalau wanita sholehah itu tidak pacaran. Karena pacaran itu akan menjerumuskan pada maksiat. Dan Allah sangat tidak menyukainya! Mungkin pacaran memang tidak selalu berakhir zina. Tapi hampir semua zina diawali dengan pacaran. Sementara dalam Al-Qur'an tertulis firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q.S. Al Isra:32)

Sering kali Syifa memuji pria seperti itu, namun ketika aku tanya jawabannya selalu sama dan tidak pernah berubah. Entah kenapa aku bisa bernapas lega sekarang. Aku merasa sebagian beban di pundakku lepas begitu saja. Apa ini artinya aku sedang bersyukur karena kemungkinan Zeyn untuk bisa bersama dengan Syifa sangatlah kecil? Tapi kenapa hatiku jadi tidak tega kalau Syifa tidak bisa membalas perasaan Zeyn? Astaghfirullah, apa ini yang sedang ku pikirkan. Untuk apa aku harus merasa senang di antara masalah mereka?

Aku harus tetap memutuskan kalau aku akan mengikhlaskan perasaan ini. Akan aku kubur dalam-dalam perasaan ini dan tidak ada lagi yang namanya cinta dalam diamku untuknya. Aku tidak boleh egois dengan hal yang tidak bisa ku miliki. Karena aku tahu, Allah sudah mengatur jodoh hamba-Nya masing-masing. Termasuk aku.

"Oh iya, Fa! Aku ingat dulu kamu pernah bilang, kalau kamu menyimpan rasa pada seseorang sejak masih di bangku SMA. Trus sekarang gimana, apa kamu masih mencintai pria itu?" Aku menanyakan kembali hal yang dulu pernah di ceritakan Syifa padaku. Tetapi dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan dia hanya tersenyum dan sedikit mengangguk. Yang artinya iya, dia masih mencintai pria itu.

Aku semakin penasaran, sebenarnya siapa pria yang dicintai oleh Syifa itu? Kita sama-sama mencintai masing-masing seorang pria sejak SMA secara diam-diam, tetapi kita tidak pernah mau menyebutkan nama pria itu antara satu dan yang lainnya.

Dear, Imam KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang