"Jika kamu percaya bahwa jodoh itu benar-benar ada, lantas untuk apa menangisi kepergian seseorang yang jelas-jelas bukan jodohmu ?"
⭐⭐⭐Hari ini adalah akhir pekan dari minggu lalu. Sinar mentari yang begitu cerah dan cuaca yang sangat mendukung untuk setiap orang yang bisa refreshing di luar sana. Mencari suasana baru untuk menghibur diri mereka setelah enam hari sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Entah itu aktivitas belajar, maupun bekerja.
Tapi tidak dengan saya. Meeting dadakan siang ini di Golden Resto membuat rencana saya untuk pergi bersama Papa akhirnya gagal total. Jika saja hasil rapat hari ini tidak begitu penting untuk perusahaan, maka saya tidak akan berada di tengah-tengah kemacetan kota saat ini. Dan seperti biasa saya akan mengutus orang kepercayaan saya untuk menghadirinya.
Saya meraih sebuah handphone yang tengah berdering di jok belakang, kemudian segera mengangkatnya dengan ucapan salam, "Assalamu'alaikum.." Ucap saya dan langsung di jawab oleh seseorang di seberang sana.
"Wa'alaikumussalaam.. Fiz, lo udah nyampe mana? Jadwal meeting dipercepat setengah jam." Saya langsung melirik arloji yang terpasang tepat di salah satu pergelangan tangan saya. Disana menampilkan jam 09:15, perjanjian awal pertemuan adalah jam 10:15. Tapi dengan seenaknya mereka mengubah jadwalnya menjadi jam 09:45. Sementara sekarang saya masih terdiam di mobil karena macet lalu lintas di jalan raya.
"Gue masih di jalan, Ndra. Lo sama Hesti sudah ada disana kan? Kalian handle saja dulu sebelum gue sampai disana!" Perintah saya pada bawahan dan sekretaris saya. Napas saya semakin terasa sesak saat Andra mengatakan, "Gak bisa, Fiz! Mr. Juan tidak bisa berlama-lama disini. Karena beliau akan kembali ke Singapura siang ini juga. Jadi mau gak mau, lo harus sampai tepat waktu disini!"
Bismillah, tanpa mengatakan apa-apa lagi, saya langsung memutar balik arah mobil saya menuju jalan lain yang mungkin terhindar dari kemacetan. Saya kembali meletakkan handphone saya di jok belakang tanpa mengakhiri panggilannya yang masih berlangsung, saya tak peduli dengan apa yang tengah di bicarakan oleh Andra di telepon. Meskipun jalannya agak jauh menuju lokasi meeting, tapi tetap saja harus saya tempuh agar bisa sampai tepat waktu disana.
Namun sayang, Allah sedang menguji kesabaran saya pagi ini. Mobil saya terhenti sebelum menempuh separuh perjalanannya. Saya turun dan mengecek keadaan mesin mobil. Ternyata kesalahannya tidak ada disana, melainkan ada pada bannya. Saya kembali melirik arloji dan waktu saya di perjalanan tinggal 20 menit lagi. Saya mengambil handphone untuk menghubungi montir yang akan mengurusi mobil saya. Dan syukurlah Andra sudah mengakhiri panggilan teleponnya.
Di jalan jalur satu seperti ini sangat jarang di lewati oleh taksi. Alhasil saya harus menaiki sebuah angkutan umum menuju Golden Resto. Saya mengambil masker, kacamata hitam, dan juga tas yang berisikan laptop serta dokumen-dokumen penting tentunya. Tidak butuh waktu yang lama menunggu, dari kejauhan saya sudah bisa melihat sebuah angkot berwarna biru langit sedang menuju ke arah saya. Tanpa ada keraguan saya langsung melambaikan tangan untuk menghentikannya.
"Ke Golden Resto ya, Pak!" Kata saya pada supirnya sebelum menaiki angkot itu.
"Mari, Mas!" Jawab supir tersebut. Saya pun segera memasuki angkot itu yang sudah hampir penuh dan pengisinya rata-rata wanita semua. Hanya ada seorang laki-laki di ujung sana. Syukurlah hari ini saya mengenakan jas yang membaluti tangan hingga pergelangan tangan saya, untuk menghindari bersentuhan dengan yang bukan mahram saya. Akhirnya saya kebagian tempat duduk di dekat pintu masuk. Dan betapa terkejutnya saya saat mendapati seorang wanita yang duduk di hadapan saya saat ini. Dia adalah salah seorang mahasiswi saya di kampus.
Sekilas kita saling melirik, namun saya segera mengalihkan pandangan saya ke jalanan depan. Lagipula sepertinya dia tidak mengenali saya saat ini yang tengah mengenakan masker, kacamata hitam dan juga jas kantor. Dan pastinya sangat berbeda sekali dengan penampilan saya saat mengajar di kampus. Di dalam situasi seperti ini dia sedang terlihat sibuk sekali dengan sebuah pulpen dan binder di atas tasnya. Saya jadi penasaran dengan apa yang sedang ditulisnya itu. Dia tidak terlihat serius, namun tangannya begitu lihai menuliskan setiap kata demi kata di atas sebuah kertas berwarna-warni itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear, Imam Ku
Romance"Dear, Imam Ku❤ Jika suatu hari nanti kau lah satu-satunya pria yang ku beri julukan itu atas izin Allah, maka pimpinlah aku saat menghadap kiblat-Nya! Tuntunlah langkahku dalam meraih Ridho-Nya! Dan bimbinglah tanganku untuk menuju Syurga-Nya! Sert...