Chapter 2

349 232 122
                                    

"Tidak akan ada sebab jika tidak ada tindakkan. Karena setiap keputusan punya alasan!"
⭐⭐⭐

"Syah! Kak Tari belum pulang juga ya?" Tanya Syifa yang tiba-tiba membuatku terperanjat dan menoleh padanya.

"Belum Fa! Kok tumben kamu jogging? Biasanya mager kalo habis bangun tidur?" Tanyaku pada Syifa yang tak biasanya bangun pagi, apalagi sampai olahraga. Aku menghentikan sebentar kegiatan menyapu halaman sambil memperhatikan penampilannya.

"Lagi pengen aja sih, hehehee.." Jawabnya tertawa kecil. "Kamu mau ikut gak?"

Dia mengajakku dan aku menolaknya, "Gak Fa! Kamu lanjut aja!" Kataku.

"Ya udah, aku pergi dulu. Entar pergi kuliahnya bareng ya," Ujarnya yang hanya ku balas dengan senyuman.

Aku memperhatikan arah lari Syifa yang menuju ke beberapa perumahan elit di dekat gang komplek. Karena disana memang ada sebuah taman mini yang selalu di ramaikan oleh banyak orang untuk olahraga. Terutama orang-orang yang tinggal di Komplek Jalak 1 ini. Selain di jadikan tempat berolahraga, disana juga ada danau untuk me-refresh pikiran mereka sejenak.

Tetapi kenapa tumben sekali? Aneh! Pikirku. Sebenarnya aku tidak suka berburuk sangka pada orang lain. Apalagi dia adalah saudara sepupuku sendiri. Dan mengingat Zeyn juga tinggal di salah satu perumahan elit itu, aku jadi curiga. Apa mereka sudah semakin dekat? Apa Syifa sudah tahu semuanya? Apa mungkin mereka janjian disana? Beberapa pertanyaan mulai berinteraksi di otakku.

Astaghfirullah, aku tidak boleh terus-terusan begini. Ini salah! Ini benar-benar salah! Bagaimana bisa aku curiga dan cemburu pada sesuatu yang dimiliki oleh orang lain? Yang jelas-jelas sikap seperti itu sangat dibenci oleh Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakkan purba sangka (kecurigaan), karena kebanyakkan dari purba sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukkan orang lain." (Q.S. Alhujurat :12)

Tapi jika mengingat akhlak seorang Zeyn, aku tidak percaya kalau dia akan memutuskan sesuatu yang juga dilarang oleh agama. Yaitu pacaran. Semenjak kita bertemu dibangku SMA, aku sangat mengenal dia. Dia yang taat pada kewajiban 5 waktunya, dia yang tak jarang membangunkanku untuk melaksanakan sholat tahajud di sepertiga malam, dan dia yang pernah bilang kalau pacaran itu sama dengan zina.

Zeyn juga telah berniat memutuskan untuk menta'aruf seorang wanita yang kelak telah berhasil menggugah hatinya, kemudian akan menikahi wanita itu untuk di jadikan mahramnya. Dan aku, adalah salah seorang wanita yang sangat berharap untuk itu. Namun nyatanya, aku salah dengan beranggapan kalau aku sangat mengenalinya. Aku hanya kenal, tapi tidak bisa memahami perasaannya.

"Aisyah..."

Lagi-lagi aku terperanjat kaget karena tepukan sayang Bunda yang mendarat di pundakku. Aku menoleh ke belakang dan mendapati Bunda yang juga tengah terkejut dengan ekspresiku barusan. "Eh, iya Bund!" Jawabku sedikit gugup.

"Kamu kenapa sih, Nak? Akhir-akhir ini Bunda sering banget liat kamu melamun. Ada apa?" Tanya Bunda yang jelas-jelas tidak akan bisa aku jawab dengan kejujuran.

"Gak apa-apa kok, Bund. Hanya mikirin beberapa tugas kuliah aja Bund, hehehee.." Jawabku dengan terkekeh.

"Kamu yakin?" Tanya Bunda lagi memastikan dengan jari telunjuknya mengacung ke wajahku. Sontak aku langsung manggut-manggut untuk mengiyakannya, agar Bunda tidak curiga.

Dear, Imam KuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang