BAB 18

155 29 35
                                    

Dengerin instrumental yang aku cantumin juga ya. Deep banget. 🖤

🌿🌸🌿

You are not alone
__________

Dalam teduhmu yang tangguh, bolehkah rapuhku berlabuh?

Langkahnya terburu-buru menuju gedung yang telah dijanjikan di bandara Adi Sutjipto Yogyakarta. Berkali-kali ia melirik jam diponselnya yang menunjukkan pukul 08.03 pagi. Dengan napas yang masih memburu, Binar mengedarkan pandangannya ke segela arah, mencari sosok tante Linda yang tiba-tiba mengajaknya bertemu di menit-menit terakhirnya di Indonesia.

Ramainya orang berlalu lalang membuatnya kesulitan menemukan ibu tiri Bara. Ia hanya ingin meminta maaf karena tidak berhasil membantu tante Linda untuk membujuk Bara.

Kaget, ia sontak menoleh ke belakang saat merasa bahunya ditepuk oleh seseorang-yang tidak lain adalah tante Linda. Belum sempat Binar menyapa, tante Linda sudah mendekapnya erat tiba-tiba, membuat Binar tidak tahu harus berbuat apa selain membalas pelukannya.

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka, seolah-olah diam sudah menjelaskan segalanya, seolah bungkam adalah cara mereka bercerita. Meskipun ditahan sedemikian rupa, isakan tangis tante Linda masih tetap bisa menembus indra pendengaran Binar.

"Terima kasih ya, Binar, sudah membantu tante untuk bertemu dengan Bara." Ujarnya pelan.

"Maaf ya tante, Binar bantunya nggak maksimal. Mungkin kak Bara masih butuh waktu." Ujarnya sambil mengusap pelan punggung tante Linda yang entah sejak kapan sudah mulai bergetar karena menahan tangisnya. Lima menit pertemuannya sungguh berhasil memporak-porandakan hatinya. Meskipun baru bertemu ketiga kalinya, Binar tahu bahwa tante Linda adalah orang baik. Seperti ada missing link yang membuat hubungan keluarganya dengan Bara belum kunjung membaik, dan Binar tidak tahu itu apa.

Tante Linda melambaikan tangannya sebelum akhirnya kembali masuk. Begitu bayangannya sempurna menghilang, Binar langsung bergegas ke kampus. Kebetulan jam kuliahnya hari ini dimulai jam sepuluh. Dengan langkah berat dan pikiran yang berkelana, ia menuju parkiran. Saking fokusnya dalam melamun, ia sampai beberapa kali menabrak orang di tengah perjalanan.

Baru saja ia hendak memakai helm, ponselnya berdering, membuat Binar menghentikan aktivitasnya. Alisnya hampir tertaut menilik nama Ibram di sana.

"Bi, dimana?" Tanyanya to the point begitu Binar membalas salam darinya. Suara Ibram bahkan terdengar gugup dan bergetar.

"Di .... " Binar melihat sekelilingnya, ia sedang di Bandara sekarang. "Eh, ini mau ke kampus. Kenapa kak?" Lebih baik ia tidak berterus terang mengenai keberadaannya. Tidak perlu ada yang tahu juga kalau dirinya kini tengah di airport.

"Oma Bara meninggal, Bi."

Deg.

Apa?

Binar tercekat, untuk mengucapkan kalimat istirja saja rasanya butuh usaha yang amat besar. Bumi seolah-olah berhenti berotasi. Kadar oksigen seolah-olah diserap oleh pepohonan di sekitarnya, membuatnya sesak. Kekuatan yang ada di kakinya seolah-olah hilang seketika, rasanya ingin sekali ia jatuh terduduk saja begitu mendengar kabar itu.

Tidak ada orang yang siap dengan perpisahan tiba-tiba seperti kematian. Juga, tidak ada orang yang tetap baik-baik saja sepeninggal orang yang berharga dari hidupnya. Saat Binar tiba di rumah duka, sudah ada banyak orang di sana. Keluarga Gema, keluarga Yasmin, Ibram, Luna dan para tetangga Bara.

Secretly Understand [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang