47

3.7K 312 26
                                    

Sejak pertanyaan itu, Ali mendiaminya. Bahkan Ali sama sekali tak mau berbicara dengannya, Prilly harus apa? Prilly melihat Ali yang baru saja kembali dari bawah.

Hening.

Tak ada suara sama sekali, hanya suara AC yang mendominasi. Prilly mengusap tekuknya. Apa ada yang salah dengan pertanyaan itu?

"Kak?" Panggil Prilly.

Tak ada jawaban sama sekali, membuat Prilly mendesah kecewa. Kenapa dengan Ali sebenarnya?

Prilly menghampiri Ali yang memasuki ruang kerjanya, Prilly mengikuti langkah Ali. Ali tampak dingin dan datar, dengan ragu-ragu Prilly memeluk leher Ali. "Apa aku salah menanyakan hal itu?" Tanya Prilly.

Ali sama sekali tidak berkutit, masih berkutat dengan laptopnya, bahkan Ali tak menghiraukannya keberadaannya. Prilly berusaha menahan tangisannya yang akan keluar.

"Kakak baru aja pulang dari Jepang, lebihbaik Kakak istirahat. Gak usah kerja dulu Kak," kata Prilly.

Prilly menghela nafasnya, Ali masih saja mendiaminya. Perlahan, Prilly melepaskan pelukannya.

Prang

Prilly terjengkit saat Ali melemparkan secangkir kopi kelantai, Ali menatapnya tajam lalu mencengkram tangan Prilly hingga memerah.

"Kak?" Lirihnya.

"Jangan pernah ungkit dia!"

Tubuhnya menegang saat Ali mendorongnya ke dinding. Apa salahnya? Hingga membuat Ali seperti ini. "Maafin aku Kak, aku janji gak akan ungkit Thalia lagi," ujar Prilly.

"JANGAN SEBUT NAMA DIA!"

Prilly mengatupkan tangannya diwajahnya, teriakan Ali membuatnya ketakutan. Tiba-tiba Prilly merasakan Ali memeluk tubuhnya, Prilly menangis sejadi-jadinya, ia baru pertama kalinya mendengar Ali meneriakinya didepan wajahnya sendiri.

Semua itu menakutkan.

"Maaf!" Lirih Ali.

Ruangan kerja Ali mendominasi dengan tangisan Prilly. Ali mengeratkan pelukannya, tak peduli kaos yang ia pakai basah oleh airmata Prilly.

"Berhenti menangis!"

Hiks.

Prilly tak mau membuka tangannya yang berada diwajahnya. Prilly benar-benar takut dengan Ali, Prilly tak ingin selalu saja terlihat lemah oleh Ali. "Sudah aku katakan, berhenti menangis, Prilly!" Bentak Ali.

"Jangan membentakkku Kak, ra----sanya sakit hiks," isak Prilly.

"Maaf!"

"Ribuan kata maaf gak akan bisa memperbaiki ucapan Kakak!"

Perlahan, Ali menggendong Prilly keluar dari ruang kerjanya. Prilly masih tak bergeming, Ali merebahkan tubuh Prilly diatas ranjang, lalu mengecup pucuk kepala Prilly dengan lembut.

"Jangan sia-siakan air mata mu untukku, Prilly," ujar Ali.

Perlahan, Prilly membuka telapak tangannya, lalu menatap lekat pada Ali yang berbaring disisinya.

"Pernikahan harus ada keterbukaan Kak, selama ini Kakak kurang terbuka sama aku Kak. Rasanya aku gak berguna Kak sebagai istri Kakak, Kakak tau semuanya tentang aku, tetapi aku gak tau semua tentang Kakak," terang Prilly.

"Aku belum siap!"

"Siap tidak siap, Kakak harus terbuka sama aku Kak. Aku akan menunggu hari itu tiba Kak, atau Kakak akan merasakan kehilangan aku lagi," balas Prilly.

TAKDIR [PROSES PENERBITAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang