CHAPTER 14

3.5K 319 3
                                    

"Lan Zhan, Lan Wangji, aku membencimu"

"Wei Ying...tunggu"

"Enyahlah"

"Wei Ying, kembali ke Gusu...bersamaku"

"Lan Wangji ya Lan Wangji, berhentilah mengurusiku. Pergi dari hadapanku, kau...tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak membutuhkanmu"

"Wei Ying...."

Seketika pemilik pita merah itu berbalik pergi, Lan Wangji tak kuasa menahan perih hatinya. Namun ia terus berusaha mencari...mengejar...mencoba meraihnya...lagi dan lagi

"Wei Ying, kau dimana?"

"Wei Ying....."

"Wei Ying"

Tak peduli sekeras dan selama apa Wangji berteriak, tak peduli sejauh apa Wangji mencari namun tak sekalipun ia mejangkaunya, tak sedikitpun Wangji mampu meraihnya pun jangankan tuk menatapnya. Sosok itu bahkan tak sudi membalikkan tubuh tuk melihatnya walau hanya sedetik.

Terus lari dan berlari, mencari dan terus mencari namun tanda keberadaan sosok berpita merah itu semakin pudar. Wangji tidak pernah lelah.....ia mencari tiada henti walau hanya gelap melingkupi dengan ujung yang tak diketahui. Ia tetap percaya, tetap mengejar Wei Ying-nya.

Namun di tengah pencarian itu akhirnya ia mendengar kabar...

"Wei Wuxian telah mati! Yiling Laozu mati!"

"Sudah sepantasnya, sekte Jiang sudah memberinya rumah malah ia jadi anjing yang menggigit tuannya. Pantaslah Ketua Sekte Jiang, Jiang Wanyin membunuhnya"

Jleb...prang...

Hancur.....pedih....sakit

Entah apa lagi harus dikata. Sungguh itulah yang ia rasa ketika sebuah kabar ia dapati.

Wangji selalu dan selalu berharap mendapat kabar akan keberadaan sang pemilik hati namun tak sekalipun ia mengharapkan berita kematian orang itu. Sungguh, jika ia bisa memilih akan lebih baik tak ada berita itu, tidak perlu diketahui jejak sang Yiling Laozu. Sebab dengan itu setidaknya.....setidaknya ia yakin Wei Yingnya masih menghirup udara yang sama dengannya.

Berita itu menjadi kabar gembira bagi sebagian orang. Namun layaknya kematian baginya. Seluruh dunia bersuka cita, berpesta pora. Namun Wangji sedang berduka, duka hati tiada ujung.

Ketika dunia menghirup napas lega akan musnahnya sang Yiling Laozu. Hanguang-jun justru merasa begitu sesak hingga bahkan untuk bernapas pun begitu sakit.

Saat dunia merasakan angin segar justru ia merasa dunianya runtuh.

Tanpa kata ia berpaling, tanpa suara ia merintih. Air mata seakan telah mengering. Bahkan inquiry pun tak sanggup memberinya harapan. Penyesalan terus tertumpuk. Sesal akan ketidakpercayaan dan kesanggupan untuk disisi orang itu. Penyesalan akan ketidakberadaan diri saat napas terakhir dihembus oleh sang terkasih. Seharusnya ia tetap memaksa membawa Wei Ying ke Gusu atau kemana pun itu asalkan bersama. Seharusnya ia menjadi sandaran saat sosok itu lemah. Harusnya....seharusnya....

Terus dan terus pengandaian itu berkecamuk dalam batin

Kosong....gelap...hampa...

Selalu mengiringi langkahnya. Saat bulan menampakkan diri saat itulah waktu bagi Wangji mencarinya lagi dan lagi.

Namun hasil yang sama selalu ia dapat

Tak satupun roh yang tahu, tak satupun panggilan mendapat jawaban tak peduli selama apa ia ber-inquiry, sejauh apa dia mencari. Nyatanya "tidak tahu" selalu menjadi jawaban siapapun yang ditanya.

Detik demi detik ia lewati dengan luka hati yang semakin menganga. Waktu berlalu namun kehancurannya tak pernah membaik, tidak juga mengurangi kepiluan. Rasa sakit telah begitu akrab hingga ia mati rasa. Tetapi harap hati masihlah sama, menjadi alasan untuk tetap memupuk asa.

Setiap waktu, setiap detik, setiap tarikan napas...hanya satu yang terbersit

"Wei Ying, kembalilah...aku akan menunggu....bahkan jika jantung ini berhenti berdetak, hingga jemari tak sanggup lagi memetik senar Guqin bahkan hingga detik akhir kehidupan.....aku akan selalu menunggu. Kembalilah....."

"Wei Ying....."

----------

"Lan Zhan...Lan Zhan, aku disini" lirih sosok itu

Sakit dan pilu melihat seorang yang begitu kuat, yang selalu melindunginya kini tengah rapuh. Sungguh tak ia sangka begitu besar pengaruhnya dalam hidup pria ini. Sosok itu terbangun di pertengahan malam dikarenakan suara lirih dan bergetar nan sendu memanggilnya. Dan sungguh, ketika ia menolehkan kepala, memfokuskan pandang pada sang pendamping. Ia melihatnya...ia mendengar suara lirih bergetar memanggilnya namanya seiring setitik...setitik air mengalir dari sudut netra emas yang terpejam itu.

Perlahan ia bangkit, memeluk sosok rapuh itu...memanggilnya dengan seluruh kelembutan yang ia miliki. Membangunkan dari mimpi buruk yang mengungkung kesadaran prianya.

"Lan Zhan"

Kelopak mata itu bergetar pelan sebelum menampakkan netra emas yang begitu indah "We Ying?"

"Hm....Lan Zhan. Aku disini" membawa tubuh semakin rapat pada sang kekasih, mengisyaratkan keberadaannya disisi pria itu. Bahwa ia nyata, dan ia disana...bersama lelakinya.

Diam....keheningan mengisi ruangan sunyi itu. Sosok pria bernetra emas itu belum membuka mulutnya. Tapi tidak, ia tidak perlu melakukannya. Sebab kali ini tidak ada kata yang mampu mewakili maksud hatinya. 

Perlahan tanpa melepas pandang, sang pria tegar meraih sosok itu, seorang yang dicarinya hingga ke ujung dunia. Merengkuh dan menyatukan kedua bibir mereka, menjadi satu seolah mengatakan bahwa mereka bersama dan semuanya nyata. Dan pria yang satunya pun mengerti, tanpa kata ia membalas ciuman lembut itu. Ya lembut, sangat lembut dan perlahan bukan ciuman penuh gairah seperti yang biasa mereka lakukan. Ciuman dan lumatan ini hanyalah ketulusan tanpa nafsu. Sekuat tenaga pria yang lebih kecil menelan kembali air matanya. Ia tidak mau lelaki yang mendekapnya semakin sakit dan diliputi rasa bersalah.

"Aku mencintaimu....Aku mencintaimu Lan Zhan"

"Aku mencintaimu"

"Aku mencintaimu"

Entah sudah berapa kali pria kecil itu mengatakan hal yang sama. Namun tak sekalipun ia merasa cukup untuk kesakitan sosok dihadapannya. Tidak pernah cukup.

"Aku mencintaimu Wei Ying" balas lirih pria itu

Dan seketika itu Wei Ying terdiam, lidahnya kelu, entah mengapa cukup satu kalimat dari lelaki dihadapannya, cukup kata itu. Ia merasa penuh. Wei Ying merasa lengkap, entah bagaimana harus diungkapkan. Seketika sungai mengalir dari sepasang netra abu yang terpejam. Ia meraih sosok dihadapannya, memeluknya semakin erat, sangat erat. Dalam hatinya ia bersumpah

Aku Wei Wuxian, Wei Ying hanya akan ada satu dalam hatiku, hanya Lan Wangji, Lan Zhanku. Bersama Lan Zhan pada semua kehidupanku. Lan Zhan. HANYA LAN ZHAN.

Malam itu sunyi, kegelapan pekat menyelimuti diiringi hawa dingin yang menusuk tulang. Namun bagi kedua tubuh itu, hangat menguasai hati sebab keduanya tahu, sangat tahu. Mereka saling memiliki, bersama. Sekarang dan selamanya.

Penantian telah terbayar, kehidupan terus berputar. Dan bagi sang Hanguang-jun waktu telah kembali berjalan.

"Wei Ying, wo ai ni"

"Lan Zhan...wo ai ni"

TBC

---------------------------

Hai...hai...apa kabar reader sekalian

Nggak terasa cerita ini sudah hampir menuju akhir. Gimana menurut kalian?

di chapter ini cuma fokus ke Wangxian...hehehe

Hm...sekian dulu ya...mohon tunggu kelanjutannya

jangan lp tinggalkan jejak vote dan comment ya...jangan ragu buat kritik dan sarannya

WILL YOU COMEBACK, WEIYING?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang