욕 (6)

16 3 14
                                    

"Terserah lu kalau gitu." seketika suasana langsung hening, Melia berjalan menuju kamar yang ditempatinya tanpa menoleh sedikitpun.

Reina langsung melirik Caca yang terdiam, kemudian melirik ke arah Indah dan Wanda yang juga diam.

"Hah.. Sebenarnya kita kenapa, sih?" tanya Reina frustasi. "Ini pertama kalinya Melia marah besar dan ngomong pakai 'lu' begitu, lho!"

"Yaudah, sih. Hak dia ini. Bukan urusan gue, bukan urusan lu juga." kata Caca datar.

"Tapi kan-"

"Ca, lu bener-bener keras banget ya." Wanda langsung menunjuk ke arah Caca, "Pikir pakai otak apa salah lu."

"Lho? Kok gue yang salah?" tanya Caca. Wanda malah melengos dan pergi meninggalkan mereka, berjalan menuju tangga, menuju ke kamarnya.

"Hah.. Gini aja, sekarang kita balik kamar masing-masing. Pikirin lagi, dan inget pikir yang positif." usul Indah, setelah itu ia juga berbalik menuju kamarnya. Reina juga berjalan menuju tangga ke arah kamarnya.

"Ck.. Sebenernya di bagian mana salahnya?" tanya Caca lebih kepada dirinya sendiri.

***

"Aku cuma mau kita pulang, selamat. Semuanya, aku, kamu, mereka. Pulang. Sama-sama. Berangkat bersama, pulang juga sama-sama. Sesusah itu?" tanya Melia sambil memeluk guling di kasurnya.

"Nggak cuma Caca, pasti yang lain juga takut. Aku juga takut.."

"Kita semua takut..."

"Perasaan buruk waktu itu, tenyata kejadian ya?" Melia lalu menatap ke langit-langit.

"Tuhan, aku mohon..lindungi kami, lindungi teman-temanku. Lindungi mereka, Tuhan." ucap Melia, tanpa sadar setetes airmatanya menetes.

'Setitik kasih sayang mungkin tidak akan terlihat jika itu dari orang yang memang biasa ada di dekatmu. Tetapi, ketahuilah jika satu titik kasih sayang itu menghilang, kamu akan langsung menyadarinya.'

***

Wanda berjalan menuruni tangga, dilihatnya kamar Melia yang masih tertutup rapat, begitu juga kamar Indah.

"Hahh.." Wanda menghela nafasnya, "sepertinya benar kata Caca, seharusnya aku nggak usah ngajak mereka ke sini."

Wanda berjalan lagi menuju ke arah pintu, menatap ke jalanan yang sepi berbeda dari sore hari. Langit yang gelap membuat suasana mencekam, tambah lagi hawa dingin yang menusuk.

"Ini semua salah gue..."

"Kata siapa?" sebuah suara membuat Wanda tersentak.

"Ah?" Wanda menoleh.

"Aku tanya, kata siapa itu salah kamu?"

"Melia-"

"Aku nggak nyalahin kamu, Nda." ujar Melia. "Virus sialan ini yang harus disalahin. Datang di saat yang bahkan nggak tepat banget."

"Tapi aku-"

"Nggak apa, it's okay. Kamu bisa nangis kalau kamu mau." Melia perlahan menarik Wanda ke pelukkannya, membiarkan Wanda yamg biasanya terlihat acuh, mulai terisak kecil.

"Ini salah aku, beneran salah aku."

"Nggak, Nda. Semua ini bukan salah kamu," Melia menepuk-nepuk pelan punggung Wanda, mencoba menyalurkan energi positifnya pada Wanda.

Red Zone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang