발 (8)

12 2 8
                                    

"Kita berlima benar-benar nggak sama, ya? Yang satu dengan yang lain, benar-benar beda. Nggak sama tapi saling membutuhkan. Aku benar-benar senang bertemu kalian."

***

Indah dan Melia sedang merapikan salah satu tas yang akan dibawa ketika mereka pergi dari villa, sedangkan Reina dan Caca mempersiapkan senjata untuk mereka berlima. Kalau Wanda, dia sedang mencari info terkini terkait virus tersebut.

"Girls, ada info baru!" Teriak Wanda senang. Keempat temannya langsung menoleh ke arah Wanda dengan penuh harap. Semoga info yang bagus.

"Info apa? Kalau info yang jelek, gue gak mau denger." tutur Caca.

"Denger aja belum, udah bilang info jelek. Omongan itu do'a, Ca. Jangan gitu." tegas Indah, tidak suka dengan perkataan Caca.

"Hm.. Ini info bagus, baik, dan paling oke yang aku dapetin!" seru Wanda. "Jadi..baru diketahui yang terkena zombie ini hanya bisa beraktifitas saat tidak ada cahaya. Mereka juga takut dengan cahaya matahari."

"Kenapa gitu?" tanya Reina. "Di film, mereka malah bisa kena cahaya matahari dan masih berkeliaran mencari otak manusia."

"Itu kan film, Reina." sela Melia, Reina hanya mendengus. "Tetapi, Wanda.. Kalau mereka takut cahaya matahari, apa mereka takut cahaya senter juga?"

"Kalau itu beda, di sini tertulis kalau mereka hanya takut saat terkena cahaya matahari dan api. Karena bisa menghanguskan kulit mereka." jelas Wanda lagi.

"Kalau gitu, kita bisa pergi ketika siang hari. Lalu, saat matahari mulai terbenam kita harus mencari tempat berlindung. Mungkin..rumah-rumah kosong yang ditinggalkan kelihatan aman, tapi siapa yang tau kalau di rumah itu ternyata dihuni sejenis zombie itu." ungkap Melia.

"Bener sih apa kata Melia, aku setuju." Reina mengangguk setuju. "Lagian, kita gak mungkin selamanya di sini, kan?"

"Iyalah, jelas." Indah langsung menoyor Reina. "Kalaupun kita mau di sini lama, tunggu virus ini hilang dulu, deh."

"Jadi itu aja dulu rencana kita?" tanya Wanda, dan ketiga sahabatnya mengangguk kecuali Caca yang terlihat tidak setuju, namun memilih untuk diam.

***

"MELIA!" suara merdu nan indah dari seorang gadis bernama Indah, terdengar membahana di seluruh ruangan villa.

"Aduh, Indah.. Apa, sih? Kayak di hutan aja tau!" Reina yang memang sedang asyik bermain game online tembak-tembakan hampir kalah karena suara merdu Indah tadi.

"Liat Melia, nggak?" tanya Indah panik. "Dia abis dari beres-beres makanan dan peralatan nggak keliatan lagi. Aku khawatir dia hilang."

"Melia bukan anak kecil lagi, kali. Bisa pergi dan pulang sendiri. Punya kaki, tangan, mata, hidung, mulut. Buat apa punya itu semua kalo nggak digunain? Aneh.." sindir Caca.

"Bukan gitu, Ca. Ini kan lagi-"

"Lagian, kalo dia emang butuh bantuan dia pasti nelpon lu, gue, atau yang lain. Kecuali, kalau dia emang bego dan nggak bisa mikir dengan bener. Oh ya, otaknya kan cuma ada cowok doang, ya." ejek Caca lagi.

Wanda yang dari tadi sedang diam sambil membaca buku langsung melemparkan buku tebal itu ke wajah Caca.

"Berisik banget, sih lu! Lagian itu mulut bisa dijaga nggak, sih?" sergah Wanda. "Kalau lu emang nggak setuju buat menetap di sini untuk beberapa hari, ya udah silakan lu pergi aja duluan sana. Keluar, cari jalan kalo lu tau arah."

"Kenapa?" suara penasaran Melia terdengar dari arah pintu villa.

"MELIA!" Indah langsung berlari menuju Melia, nemeriksa seluruh badannya. "Hah.. Syukur deh, kamu nggak kenapa-kenapa."

"Lho? Emang aku kenapa?" bingung Melia. "Aku cuma ambil senapan, ini ada di gudang sana. Waktu pertama sampai sini, aku kan ngambil sapu buat bersih-bersih lantai kalau habis masak. Nah, di sana ada pistol dan senapan. Ada yang bisa pakai?"

Melia menunjukkan sebuah pistol dan senapan laras panjang. Dan juga, beberapa peluru-peluru tambahannya. Yang lainnya langsung heran, lalu memandangi satu sama lain.

"Um.. Kemarin kan ada pedang pajangan yang kita ambil, pisau dapur besar, terus sama tongkat basball. Nah, untuk yang bawa tas makanan, bawa pisau dapur sama tongkat basball aja. Yang tiga lainnya bawa pedang dan ini." jelas Melia.

Keempat gadis itu masih diam karena bingung ingin menjawab apa. Yang pertama kali sadar adalah Wanda, yang langsung menunjuk senapan laras panjang.

"Boleh aku coba yang ini?" tanyanya.

Melia mengangguk, "Lagipula, aku nggak bisa pakai pistol ataupun senapan."

"Kalau gitu aku yang pakai pistol, ya?" sahut Reina. "Ini mirip banget sama yang ada di game, lho. Aku jago nembak, meskipun di game. Tetapi, semoga kejagoanku dalam menembak juga bisa dalam dunia nyata.. Hehe.."

"Kalau gitu, kalian ambil apa?" Melia bertanya pada Caca dan Indah.

Indah langsung melirik Caca diam-diam, tampak tidak setuju karena Caca juga ikut ditanyai. Padahal sebelumnya Caca jelas-jelas tidak setuju dengan pendapat itu.

"Gue pedang, deh. Males bawa tas berat-berat." jawabnya dengan nada malas. Indah langsung menghela nafas panjang.

"Aku pisau aja deh, Melia. Biar enak kalo mau motong roti juga bisa."  kata Indah sambil nyengir.

"Mana bisa.. Hahaha.. Yang ada kita kena virusnya juga, pintar." Melia langsung menggelitiki Indah diikuti Reina dan Wanda.

Setidaknya hari ini, mereka berlima masih hidup bahagia dan masih biss tertawa bersama. Kita tidak tau nantinya, kan?

****

Red Zone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang