십 (10)

10 3 5
                                    

Yang mereka tidak tau, teman mereka sudah pergi jauh. Tanpa kata dan ucapan perpisahan yang pasti.

***

Saat Wanda dan Melia masuk ke dalan villa itu kembali, Indah dan Reina langsung buru-buru menghampiri.

"Gimana?" tanya mereka khawatir.

Ketika hanya gelengan yang mereka dapatkan, mereka langsung tertunduk lemas. Mungkin, mereka merasa terkhianati sahabat mereka sendiri.

"Setidaknya dia kan harus kasih tau kita kalau mau pergi." Reina angkat bicara, dari nada suaranya jelas ia sebenarnya sedih.

"Tapi dari awal dia kan memang gak suka ide rencana yang kita setujui. Dia bilang ingi cepat-cepat pergi dari sini." jawab Wanda sebal.

"Awas aja kalau dia ketemu aku di jalan, aku suruh Reina yang tembak dia." sahut Indah kesal.

"Lho? Kok aku?" Reina langsung menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, soalnya kan aku gak bawa pistol. Yang bawa kamu sama Wanda, tapi mending kamu aja yang nembak." jelas Indah.

"Kenapa?" tanya ketiga gadis lainnya bersamaan.

"Gapapa, inginku aja."

"Aku kira kenapa, hm.. Tapi ya udah kita makan aja dulu, kita harus tetap makan dan bertahan hidup sampai waktunya tiba." kata Melia, Reina dan Indah mengangguk langsung berjalan menuju meja makan.

"Melia.." panggil Wanda pelan, menahan Melia yang sudah akan berjalan menuju meja makan. "Tadi di gudang ada bom dan kapak kan?"

"Iya." Melia mengangguk.

"Bisa kita pakai saat kita pergi dari sini?"

"Bisa tentu aja, bom bisa aja kita masukin ke tas, tapi siapa yang bawa kapaknya?"

"Aku aja," jawab Wanda cepat-cepat. "Bom bisa suruh Reina yang bawa. Aku ingat ada pemantik api di halaman, bisa digunakan untuk menyalakan bom. Suruh Reina bawa tas kecil untuk bom-bom itu."

"Oke. Kita bisa bicarain ini nanti. Sekarang, ayo isi perut kita dulu. Para cacing sudah nggak bisa menunggu."

***

Malam hari, tepat jam 11 malam. Mereka dikejutkan oleh suara-suara aneh dari depan gerbang, entah itu teriakan, jeritan, atau raungan. Yang pasti itu dari arah depan. Suara itu bahkan sampai ke kamar-kamar mereka.

"Ada suara apa?" tanya Reina dan Wanda yang cepat-cepat turun dari lantai dua.

"Nggak tau, aku baru keluar kamar." sahut Melia yang baru keluar kamar dan langsung berjalan menuju jendela dekat pintu villa.

"Sama, aku juga." jawab Indah yang wajahnya masih ada masker perawatannya.

"Zombie?" tanya Melia heran, "Kalian liat sini, mereka zombie?"

Ketiga temannya saling pandang sebentar. Lalu, bergegas menuju tempat Melia. Bergantian memandang ke arah gerbang utama yang tinggi dan kokoh itu.

"Iya.. Tapi, kok bisa?" Wanda langsung heran. "Seingatku, meskipun nggak dijaga, tapi kalau mau masuk area perumahan dan villa ini kan ada gerbang besar. Kalian liat itu kan saat ke sini?"

"Iya, ingat. Mungkin ada yang lupa menutup kembali?" sahut Reina.

"Caca?" cicit Indah, seperti bertanya pada diri sendiri. Namun, ketiga temannya mendengar suaranya.

"Mungkin, iya, Caca.." Melia kembali memandang ke arah gerbang itu. Para zombie itu berusaha membuka gerbang dan mendobraknya.

"Aku bersyukur zombie gak punya otak, kalau mereka punya pasti mereka udah masuk ke sini dan makan otak kita juga." ujar Reina yang terlihat ngeri.

"Mereka tuh bukan nggak punya otak, tapi gak punya akal, Rei." sahut Melia.

"Kalau gini kita gak bisa tidur.." suara Indah terdengar pelan. "Apalagi suara teriakan minta tolong yang terdengar sampai sini. Aku..kasihan."

"Mau gimana lagi? Kalau kita tolong mereka, puluhan atau mungkin ratusan zombie itu bakal nyerang kita." ucap Melia pasrah.

"Gini aja, hari ini kita tidur di ruang tengah. Dua orang tidur di masing-masing sofa. Dua orang lagi tidur di karpet beralaskan selimut." usul Wanda yang disetujui oleh teman-temannya.

***

"Aku masih belum bisa tidur." setelah keheningan yang cukup lama, suara Reina terdengar.

"Sama, kok." sahut Indah dengan mata tertutup.

"Lebih baik kita tidur, besok kita haru cari cara keluar dari sini." kata Wanda dengan nada datar.

"Apa diantara kalian ada yang bisa mengendarai mobil?" tanya Melia tidak nyambung. Ketiga temannya terdiam lama, membuat Melia menghela nafas panjang.

"Mobil buat kita pergi dari sini, nggak mungkin kan kita pergi dari sini jalan kaki?" ujar Melia dengan sabar. "Dari sini ke gerbang utama perumahan aja jauh, apalagi ke Seoul. Ya memang sih kita bisa istirahat, tapi pasti bakal memakan waktu yang lebih lama lagi."

"Aku ngerti." Wanda langsung mengangguk. Diikuti Indah dan Reina yang juga mengangguk, lalu mereka bertiga saling pandang.

"Melia yang akan mengemudi." usul mereka bertiga yang lantas membuat mata Melia terbelalak seakan mau keluar.

"AP-" Melia menarik nafasnya panjang, mencoba berpikir tenang. Jika ia berteriak itu akan memancing para zombie datang ke sini.

"Kalian gila?" tanyanya dengan suara pelan. "Kalian kan tau, aku nggak bisa naik mobil."

"Mengendarai lebih tepatnya." ralat Wanda.

"Nah itu! Aku nggak bisa!" sahut Melia cepat-cepat.

"Masalahnya, aku dan Reina yang jadi penembak." tegas Wanda. "Kalaupun Indah bisa nyetir, dia nggak akan ku bolehin. Itu karena kalo dia kaget yang ada dia bakal teriak lebih dulu."

"Um.. Iya sih," Indah langsung mengangguk, membenarkan apa kata Wanda.

"Tapi, yang ada kita malah lebih dulu mati karena jatuh ke jurang atau nabrak apa gitu kalau aku yang nyetir." protes Melia. "Nggak, pokoknya enggak."

"No protes! Pokoknya, itu udah final. Titik." ujar Wanda dengan nada serius. "Seingatku, ada mobil omku yang nggak kepake di garasi. Kita bisa pakai itu."

"Hah.. Semoga aku bisa mengendarai mobil tanpa goyang-goyang." ucap Melia melankolis.

"Goyang-goyang? Dangdutan dong mobilnya?" tanya Reina jahil.

"Ada-ada aja."

Setidaknya persahabatan membuat mereka lebih berani dalam situasi tersebut. Bagaimana jika mereka menghadapinya sendirian? Apakah akan seberani ini?

Dan setidaknya, karena persahabatan itulah..hari esok terlihat akan lebih indah daripada hari ini atau hari kemarin-kemarinnya.

****

Red Zone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang