구 (9)

17 2 10
                                    

Setidaknya hari ini, mereka berlima masih hidup bahagia dan masih biss tertawa bersama. Kita tidak tau nantinya, kan?

***

Keesokan paginya, Melia sedang asyik mencuci piring dan Indah sedang membereskan meja makan. Lalu, Melia teringat sesuatu.

"Ndah.. Kan kamu sama aku yang bawa tas isi makanan dan obat-obatan, jadi.." ucapan Melia terpotong, karena melihat ekspresi wajah Indah.

"Iya, aku ngerti." balas Indah seolah paham apa maksud Melia. "Kita harus hati-hati, kan?"

Melia mengangguk lalu tersenyum, "Semoga kita sampai ke Seoul selamat berlima. Oh, lebih tepatnya di bandar udaranya. Di Incheon, hehehe.."

"Kalau bandara di Daegu buka mah gampang aja, ya.. Kita tinggal ke sana, terus berangkat naik pesawat ke bandar udara di Incheon, lalu-"

"Iya, itu lebih gampang. Sayangnya karena ada virus ini, jadi ditutup, ya.."

"Ngomongin apa, nih?" sahut Wanda yang baru saja kembali dari halaman. Ia dan Reina memang sedang berlatih menggunakan senjata mereka.

"Oh.. Bukan apa-apa." balas Indah cepat-cepat. "Kalian gimana perkembangannya? Baru latihan langsung bisa?"

"Iya dong, siapa dulu? Reina!" jawab Reina bangga sambil membusungkan dada, padahal jelas-jelas dadanya rata. Uhukk...

"Halah.. Apaan? Tau gak, tadi tuh ada kejadian lucu!" ucap Wanda sambil tertawa, mata Reina langsung menyipit tak suka.

"Apa-apa?" Indah langsung bertanya antusias, Melia pun mengangguk ingin tau.

"Jadi, tadi Reina kan latihan pakai pistolnya, tuh.." Wanda mulai bercerita, sedangkan Reina langsung memasang wajah malasnya. "Terus dia gak sengaja nembak jendela rumah orang, dong! Aku langsung ngakak. Kalian emang nggak denger suara pecahan? Hahahaha.."

"Dih.. Aku tuh nggak sengaja!" protes Reina. "Soalnya pas aku lagi mau nembak sasarannya, masa ada burung terbang tepat di deket sasarannya bikin aku gak fokus. Ya udahlah, akhirnya..gitu deh.."

"Hahahaha.." Melia dan Indah langsung tertawa bersamaan. Wanda juga ikut tertawa kembali, kalau Reina bukannya tertawa malah cemberut.

"Hahaha, tapi benar juga sih. Kalau dia nembak sasarannya, nanti burungnya yang kena. Padahal dia cuma mau terbang doang." kata Melia akhirnya, setelah berhenti tertawa.

"Tapi, aku mau tanya.." sahut Indah. "Itu jendela orang yang dipecahin, kan? Kok nggak ada yang marah?"

"Oh.. Kayaknya yang punya rumah lagi nggak ada? Atau dia memang udah pergi sejak tau virus itu mulai menyebar dekat daerah sini?" jawab Wanda tidak yakin.

"Ah, gak taulah." kesal Reina. "Oh ya, Caca mana?"

"Aku pikir dia sama kalian tadi." ungkap Melia. "Soalnya kan dia keliatan tertarik banget sama pistolnya Reina."

"Mungkin di kamar kali, bosen liat mereka latihan." kata Indah yang juga tidak melihat Caca.

"Tapi tadi pagi dia ada kan pas sarapan, ya?" Wanda terlihat berpikir. "Kayaknya ada."

"Iya ada, mungkin emang di kamarnya. Semoga aja dia nggak ngelakuin hal-hal aneh."

"Iya, semoga."

Sayangnya, mereka tidak tahu. Kalau salah satu dari mereka memang sudah pergi meninggalkan villa tersebut. Dan, itulah awal dari perjalanan mereka nanti.

***

Saat waktu menjelang malam, Indah dan Wanda sedang sibuk memasak makanan, sedangkan Melia dan Reina yang menyiapkan meja makan.


"Oh, Caca belum turun ya?" Melia teringat salah satu temannya yang belum terlihat dari sejak sarapan.

"Mungkin masih di kamarnya?" sahut Indah.

"Aku panggil dulu, deh." kata Melia akhirnya, lalu ia mulai berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua.

Saat baru saja menaiki beberapa anak tangga, Melia mulai merasakan perasaan tak enaknya. Perasaan yang sama seperti saat ia dan yang lain menonton film zombie waktu itu.

"Tuhan, aku mohon. Semoga ini cuma perasaanku, aku mohon. Tolong." batin Melia, mencoba untuk tetap tenang.

Saat sampai di depan pintu kamar yang ditempati Caca, Melia mengetuk pintunya. Memastikan bahwa temannya ada di dalam atau tidak.

Tok.. Tok..

"Ca? Kamu di dalam?" Melia mengetuk pintunya. "Aku masuk ya."

Ckrekk... Kriett...

Pintu terbuka, namun kamar itu sudah kosong. Terasa dingin karena tidak di tempati. Melia mulai khawatir, ia cepat-cepat melihat ke balkon yang ada di kamar itu. Memastikan bahwa bisa saja Caca ada di sana. Namun, nihil.

Kali ini ia langsung cepat-cepat memeriksa kamar lainnya, termasuk kamar mandi. Namun, Caca belum juga ditemukan. Melia langsung saja turun ke bawah, sambil berjalan dengan cepat menuruni tangga.

"Kalian nggak ada yang liat Caca?" tanyanya sambil terengah-engah.

Ketiga temannya langsung bingung, lalu saling pandang. Menggeleng bersamaan akhirnya.

"Dia nggak ada di kamar? Di kamar mandi?" sahut Wanda.

"Nggak ada, udah ku periksa di lantai dua." kesal Melia. "Coba periksa lantai satu dan halaman, siapa tau dia ada di salah satu kamar atau di halaman. Aku mau periksa gudang."

"Aku ikut," Wanda langsung berjalan cepat mengikuti Melia yang sudah mau keluar pintu villa.

Mereka berdua lari menuruni jalanan di dalam villa itu, memang villa itu letaknya di atas sedangkan gudang tepat ada di sebelah gerbang utama villa. Jadi jalannya agak menurun.

"Hah.. Hah.." mereka berdua mengambil nafas sejenak di luar gudang, sambil berharap semoga Caca ada di gudang itu.

"Hah.. Ini tempat terakhir yang aku pikirin." ucap Melia setelah berhasil mengatur nafasnya lagi.

"Kalo gitu, ayo kita liat."

Saat gudang itu dibuka, hanya gelap. Lampunya tidak dinyalakan, dan tampak lebih berantakan di banding sebelumnya. Lalu, Melia menyalakan lampu dari saklar yang berada di dekat pintu.

"Nggak ada." ujar Melia lemas.

"Dia pergi?"

"Mungkin? Tapi satu hal yang aku tau, kotak P3K yang ada di meja ini," Melia menunjuk salah satu meja. "Hilang. Seingatku di sini ada kotak P3K yang isinya sudah kuambil beberapa. Oh, hampir lupa, tadinya di sana juga ada pajangan panah. Alat panah seperti itu pokoknya."

"Dia bawa?" tanya Wanda heran.

"Aku nggak tau, tapi mungkin saja ya."

"Kita balik ke villa, semoga Indah dan Reina menemukan Caca." Wanda langsung berlari cepat meninggalkan Melia.

Yang mereka tidak tau, teman mereka sudah pergi jauh. Tanpa kata dan ucapan perpisahan yang pasti.

****

Red Zone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang