05. Tiga Kesepakatan

373 98 5
                                    

( 05. Tiga Kesepakatan )

"Kenapa sih ada-ada aja? Aku nggak keberatan kalau aktif di kegiatan jurnalistik, tapi kalau aktif di acara besar sekolah kayak gini aku nggak mau!" Gadis itu berkata ketus ketika tangannya kembali sibuk memotong red velvet-nya dengan sebal.

Pria yang sejak tadi menyesap americano itu justru tersenyum lebar ketika mendengar keluhan gadis itu. Menopang wajahnya kemudian tanpa bicara membiarkan Seulgi menyuapkan satu potong cake besar ke mulutnya sendiri.

"Padahal kerjaan aku di jurnalistik juga banyak," keluh Seulgi kembali melanjutkan perkataannya. "Duh, sebenernya aku sekolah buat apa sih? Aku sekolah buat belajar bukan buat ikut kegiatan."

Tentu saja semua itu hanya kebohongan yang dibesar-besarkan. Sejak kapan Seulgi Astafira Darmono serius belajar seperti itu?

"Ya biar kamu aktif dong, Gi. Sayang 'kan kalau masa sekolah kamu nggak seru?"

Gadis itu menghela nafas. "Tapi aku 'kan udah aktif di klub jurnalistik loh. Aku bahkan pegang rubrik sendiri. Ah iya, adik kamu ini sering jadi penyiar juga. Masa itu masih nggak cukup?"

Apa gue harus sekalian bersih-bersih sekolah biar kelihatan sibuk?

"Kamu harus sibuk." Pria itu mengangkat sudut bibirnya. Kembali menyesap minumannya dengan tenang. "Biar masa remaja kamu berwarna, Gi. Jangan kayak aku dong, masa sekolahnya nggak seru."

"Jangan dibandingin dong," keluh Seulgi. Matanya menyipit ketika melihat tingkah tenang pria itu. Keningnya mengkerut sementara alisnya terangkat. "Udah berapa gelas? Aku nggak suka Kakak minum kopi kebanyakan."

"Bawel."

"Ck, serah ah pokoknya kepala aku sakit!" Matanya melirik ponselnya yang tergeletak di atas meja. "TUH 'KAN JAEBUM CHAT AKU LAGI!"

Jaebum: Gimana, Gi?

Rasanya Seulgi bisa melihat ekspresi datar pemuda itu ketika pesan ini dikirimkan. Terima kasih kepada Wendy Agaeya Xavier yang jelas membagikan kontaknya kepada Jaebum dengan mudah.





***



"Grabfood udah di depan tuh," lapor Seulgi, melirik ponselnya yang bergetar menunjukan informasi kedatangan tanpa semangat. "Sekarang giliran siapa buat ambil ke depan?"

Wendy meregangkan tangannya lalu bangkit berdiri. "Hari ini giliran gue yang ambil. Seulgi, lo mau temenin gue nggak?"

"Nggak mau! Nanti ketemu Jaebum malah dimintain jawaban lagi," tolak Seulgi dengan wajah semakin tertekuk. "Gue masih nggak tau mau kasih jawaban apa."

Wendy memutar bola mata malas sebelum akhirnya melangkah keluar dari ruang jurnalistik.

Seulgi bergidik ngeri. Membayangkan selama hampir dua hari ke belakang dirinya selalu diberondongi pertanyaan yang belum jelas jawabannya apa.

Setelah mendapat suara mutlak dari rapat kepengurusan, Jaebum Altaksa kini merecoki Seulgi agar segera menyetujui itu juga.

Jika Jaebum merecokinya dengan rayuan manis dan sorot memuja penuh permohonan sih Seulgi tidak masalah. Sayangnya, pemuda itu lebih memilih menatapnya dengan dingin sembari mengucapkan dua kata yang selalu sama.

"Gimana, Gi?"

Hanya itu dan Seulgi benar-benar merasa tertekan setelahnya. Padahalkan bukan Seulgi yang butuh, tapi malah dirinya yang merasa terintimidasi.

"Jaebum udah mirip setan pokoknya," keluh Seulgi dengan wajah ditekuk. "Tiba-tiba muncul di segala tempat. Auranya negatif. Hilih, dasar Jaebum si dedemit sekolah."

Taksa #JaegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang