25. Lampu Merah dan Lampu Hijau

230 71 10
                                    

[25. Lampu Merah dan Lampu Hijau]

"Gue tau semuanya capek kok, tapi sebentar lagi acara ini selesai. Karena itu, gue harap semuanya bisa semangat sampai akhir." Eunwoo berkata sembari merapikan berkas yang berada di tangannya. "Tinggal beberapa hari lagi sampai kegiatan utama, jangan sampai lupa istirahat. Sekarang kalian boleh bubar."

Murid PranyaIS yang berada di dalam ruangan menjawab serentak, membuat Eunwoo menarik sudut bibirnya. Pemuda itu menoleh ke arah Seulgi dan Jaebum yang duduk di bangku bersebelahan. Kedua temannya itu sejak tadi duduk di tempat yang sama, tetapi tidak tampak sama-sama.

"Mereka berantem, ya?" tanya Doyeon, seakan tau apa yang Jaebum pikirkan sejak tadi. Mau bagimana juga, Eunwoo memang seperti buku yang terbuka. Segala hal yang ada dalam pikirannya seakan tertulis jelas di keningnya.

"Mungkin," jawab Eunwoo. Dia kembali merapikan berkas tanpa sekalipun menatap ke arah Seulgi dan Jaebum lagi. "Kalaupun berantem biarin aja, Doy."

"Cuek amat, sih," keluh Doyeon, memutar bola mata sebal karena jawaban tenang Eunwoo yang sepertinya tidak terganggu dengan Jaebum dan Seulgi yang saling diam.

Keduanya memang tidak tampak beradu argumen, tetapi saling membisu tanpa ada yang mau memulai obrolan juga bukan sesuatu yang baik, kan?

"Kita nggak ada hak buat ikut campur, Doy. Kalaupun mereka ada masalah, mereka kan udah besar. Harusnya bisa nyelesain masalahnya sendri, kan? Buat sekarang cukup kasih mereka waktu dulu," jawab Eunwoo, menepuk puncak kepala Doyeon dengan kertas HVS yang masih ada di tangannya. "Ayo kantin. Nggak perlu mikir kejauhan."

"Siap, Komandan!"

Sementara Eunwoo dan Doyeon melangkah keluar ruangan dengan langkah lebar sembari diiringi beberapa obrolan menyenangkan, Seulgi dan Jaebum justru masih saja berada di tempatnya tanpa bergerak sesenti pun.

Seulgi mengembuskan napas panjang, menoleh ke arah Jaebum yang masih sibuk dengan kertas-kertas yang ada di tangannya. Setelah memberikan laporan, Jaebum terus saja sibuk dengan berkas-berkas itu. Jaebum tidak banyak bicara, dia hanya sesekali menanggapi Jeno yang bertanya mengenai ini itu.

"Jaebum," panggil Seulgi hingga membuat pemuda itu menoleh ke arahnya cepat.

"Hm? Kenapa, Gi?"

"Nggak ada yang mau lo omongin ke gue gitu?" tanya Seulgi. Netranya terus saja memerhatikan Jaebum yang mulai menyimpan kertas yang dibacanya sejak tadi.

"Nggak ada. Emangnya gue harus ngomong apa?"

Seulgi tersenyum tipis. "Nggak ada, sih. Lo masih mau di sini? Gue duluan ke kantin ya."

"Oke. Selamat makan."

Gadis itu melangkah cepat meninggalkan ruangan. Membuat Jaebum menghela napas panjang.

"Menurut gue, lo tolol." Mark yang sejak tadi menyaksikan percakapan sederhana Jaebum dan Seulgi itu mengembuskan napas panjang, menepuk baju Jaebum keras-keras. "Bukannya banyak hal yang harus lo omongin ke Seulgi?"

"Soal apa?" tanya Jaebum.

"Jangan pura-pura nggak tau," jawab Mark. "Jangan nunda-nunda terus, Bum. Kerjaan lo tarik ulur mulu dari kemarin. Kalau gue jadi Seulgi, gue sih mundur. Mendingan cari cowok lain dah."

"Gue cuman—"

"Cuman nggak mau bagi fokus dari acara," sela Mark mengikuti nada bicara Jaebum dengan tepat. Dia lalu melanjutkan cepat, "Seulgi masih bisa nunggu, tapi acara nggak boleh sampai gagal."

"Brengsek," keluh Jaebum karena Mark bisa menebak dengan benar apa yang ingin diucapkannya.

"Basi sumpah." Mark menduduki kursi di sebelahnya. "Asal lo tau, dari dulu Seulgi selalu jadi pusat perhatian dan sekarang, setelah semua orang tau kalau Seulgi anak Pak Arnav, makin banyak orang yang mencoba keberuntungan buat dapetin dia."

Taksa #JaegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang