23. Lawan Isu, Pakai Fakta.

451 103 10
                                    

[ 23. Lawan Isu, Pakai Fakta]

"Sumpah gue merinding. Lo itu pemeran utama serial Netflix atau gimana, sih?" Joy mengernyitkan kening dengan mulut terbuka. Netra gelapnya kini menatap ke arah Seulgi yang masih saja memeluk bantal sofa dengan erat. "Genre hidup lo beneran drama banget, Gi."

"Gue berharapnya sih dapet drama romance comedy, tapi kayaknya nggak bisa deh," jawab Seulgi dengan raut sedih di wajahnya.

Dia menyembuhkan napas, melirik ponselnya yang sejak tadi tergeletak di atas meja ruang jurnalistik. Jaebum belum menghubunginya sama sekali. Sejak pertemuan mereka di kamar rumah sakit, sampai hari ini ketika Seulgi kembali ke sekolah, Jaebum masih belum menghubunginya dan itu sudah hampir tiga hari lamanya.

Siapa yang bilang, kalau Seulgi jangan pernah menahan segalanya seorang diri dan Seulgi bisa kapan saja menceritakan segala hal padanya? Tentu saja Jaebum.

Lalu siapa yang sekarang mendadak menghilang dan tidak bisa dihubungi? Tentu saja masih Jaebum.

Seulgi semakin yakin jika keinginannya menjalani hidup dalam genre romance comedy semakin sulit dilaksanakan. Tetapi, dia kan Seulgi Astafira Darmono. Mau bagaimana juga, Seulgi akan mengupayakan segala cara agar hal yang dia kehendaki dapat terjadi.

Salah satu caranya adalah menunggu rapat bulan bahasa yang akan dilaksanakan satu jam lagi, karena kegiatan bulan bahasa memang akan dimulai tidak lama lagi.

Rasanya seperti ... bulan bahasa memang merubah hidupnya menjadi tidak biasa. Hingga Seulgi tidak tahu harus marah pada Arnav, atau justru berterima kasih dengan mata berbinar.

Seulgi akan memakai kesempatan itu sebaik mungkin untuk bicara dengan Jaebum. Karena Seulgi memang harus memastikan terlebih dahulu. Tentang Jaebum masih memikirkan banyak hal, atau justru sudah berubah pikiran untuk dekat dengannya.

"Gimana rasanya punya abang ganteng kayak Pak Arnav?" Yeri bertanya dengan senyuman lebar, menggoyangkan kakinya antusias. "Lo lagi buka lowongan calon kakak ipar nggak, Gi? Gue mau kirim lamaran boleh nggak?"

Gadis itu mendelik. Bisa-bisanya Yeri berpikiran seperti itu. Padahal Seulgi tidak pernah mengira jika sahabat-sahabatnya itu, tentu saja kecuali Wendy, bisa menerima informasi seperti ini dengan begitu tenang dan penuh candaan.

Padahal Seulgi mengira dirinya akan dimusuhi atau bisa saja terlalu disegani hingga semua orang tidak mau berbicara padanya. Tetapi, tentu saja semua ketakutan Seulgi tidak terjadi. Anak-anak Jurnalistik tetap baik dan Seulgi merasa ... too good to be true, untuk punya teman sesuportif mereka.

"Jadi, apa yang sekarang lo pikirin, Gi?" tanya Irene, meregangkan tangannya ke atas karena dia baru saja selesai mengetik artikel baru. "Langkah lo selanjutnya apa?"

Gadis itu berpikir. Mengembuskan napas kecil, sementara kini tangannya mulai menggapai ponsel miliknya. "Gue harus jelasin semuanya. Gue nggak mau dianggap sugar baby-nya Kak Arnav."

"Gue sih mau aja dianggap sugar baby-nya Pak Arnav." Yeri menimpali, baru saja berniat melanjutkan ketika Seulgi nyaris saja melemparkan buku ke arahnya. "Just kidding, sister."

Seulgi menoleh sebal. "Arnav nggak sekeren itu, Yer. Lo kalau lihat dia setiap hari juga muak. Dia—"

"Tapi ganteng."

"Yer, gue tendang ya lo?"

"Hehe. Canda lagi, Sister."

Sebelum Seulgi sempat merespon candaan Yeri, kini pintu ruang jurnalistik kembali terbuka lebar. Menampilkan Wendy dan Joy yang tengah melangkah ke dalam dengan plastik makanan di tangannya.

Taksa #JaegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang