18. Terkirim dan Terbaca.

281 101 16
                                    

[ 18. Terkirim dan Terbaca ]


"Kenapa Kak Mark harus ikut ke sini, sih?" Seulgi mengerucutkan bibirnya dengan mata menyipit. Menatap Mark dan Wendy yang kini berdiri di depan pintu yang terbuka.

"Heh cewek gila," ketus Wendy, melangkah mendekat lalu melayangkan pukulan di bahu gadis itu. "Lo baru aja keracunan makanan dan lo masih mikirin gue ke sini sama siapa? Dasar cewek gila."

"Gue nggak keracunan makanan," bantah Seulgi, mengibaskan tangannya dengan wajah sebal. "Gue cuman makan sedikit almond yang ada di dessert."

"YA ITU LEBIH BAHAYA DARIPADA KERACUNAN MAKANAN, DARMONO!" teriak Wendy, menduduki sisi ranjang yang Seulgi tiduri dengan gaduh. "Kalau lo kenapa-napa gimana? Lo itu alergi almond, Gi."

"Tenang aja."

"Gimana gue mau tenang. Badan lo panas, lo demam!" Wendy berseru, menempelkan punggung tangannya di kening Seulgi yang sedikit berkeringat dan terasa hangat.

"Gue nggak kenapa-napa astaga," tukas Seulgi dengan mata melebar. "Gue baik-baik aja. Jangan overacting ah."

Walaupun tentu saja kejadian yang sebenarnya tidak begitu. Seulgi masih ingat ketika dia merasakan ruangan tempatnya berada mendadak berputar dan pasokan udara terasa menghilang dalam sekejap mata. Dia tidak bisa bernapas saat itu dan ingatan terakhirnya adalah, dia sudah dalam dekapan kakak laki-lakinya yang terlihat begitu panik karena keadaannya.

Lalu, entahlah. Ketika sadar, dia sudah ada di kamar rawat inap dengan selang infus yang terpasang di punggung tangannya dan ini sudah berjam-jam sejak kejadian di pesta terjadi.

Dari sekian banyak pesta yang pernah Seulgi datangi, baru kali ini dia bersikap ceroboh dan memakan almond yang jelas-jelas kelemahannya.

Menyebalkan. Seulgi mengerucutkan bibirnya kesal.

"Lo minum Sherry berbotol-botol kuat, eh giliran makan almond aja langsung masuk rumah sakit," cibir Mark dengan alis terangkat. "Kadang gue nggak ngerti sama kerja otak dan perut lo."

"Kok lo tau gue suka minum Sherry?" selidik Seulgi, melirik Wendy yang masih ada di sisinya dengan pandangan menyipit. "Lo spoiler ke dia, ya?"

"Nggak pernah astaga," tukas Wendy cepat. "Bukan gue yang bilang, 'kan?"

"Gue tau dari Jaebum," jawab Mark acuh, mengibaskan tangannya seakan mudah baginya mendapatkan informasi kecil seperti itu. "Nggak usah nyalahin cewek gue."

"Iya, dasar bucin." Seulgi memutar bola mata jengah. Kemudian, sudut bibirnya mendadak terangkat tinggi dengan manis. "Daripada kadar bucin lo overdosis kayak gitu, mendingan lo kasih ke Jaebum sedikit. Sedikit juga pasti berpengaruh banyak hehe."

"Walaupun gue kasih juga belum tentu dia mau bucin sama lo."

"Ck, dasar brengsek," ketus Seulgi. Baru saja berniat melemparkan bantal yang digunakannya, ketika tangan Wendy dengan cepat menahan pergelangan tangannya.

"Lo lagi sakit, bisa diem sedikit nggak?" ujar Wendy, mengetuk puncak kepala Seulgi dengan jarinya hingga gadis itu meringis. Wendy juga menoleh ke arah Mark dengan sebal. "Lo juga diem, Kak. Temen gue lagi sakit, jangan diisengin mulu ah."

"Iya, Wendy."

"Cih, bau bucin."

"Rasi nggak ke sini?" tanya Wendy, sementara netranya menjelajahi seisi ruangan yang sepi. Dia belum melihat Rasi sejak tadi.

"Dia kayaknya belum tau," jawab Seulgi, melempar senyum tipis. Dia membayangkan jika pemuda itu tentu saja sedang terlelap di alam mimpi saat ini. Lagi pula, kakak laki-lakinya jelas tidak akan memberitahu Rasi soal ini. Setidaknya, tidak malam ini. "Lagian ... kasihan kalau dia ke sini. Jauh-jauh ke Indonesia, masa datangnya tetep ke rumah sakit juga."

Taksa #JaegiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang