s e p u l u h

211 30 6
                                    

Nara menatap kosong kearah jendela di kamarnya. Berhubung hari ini tidak ada undangan acara, ataupun kegiatan lainnya, ia memilih untuk berdiam diri dikamar. Luka dikakinya sudah membaik, dan mulai mengering. Mungkin karena selama tiga hari ini, ia tidak melakukan aktivitas apapun baik didalam maupun luar posko.

Tentu itu bukan keinginannya, melainkan paksaan dari teman-temannya yang lain. Meskipun untuk kebaikannya, tapi hal itu membuatnya sangat bosan. Sejak tadi novel dipangkuannya, ia abaikan. Matanya malah lebih tertarik untuk menatap jendela.

Suara ketukan pintu membuatnya langsung menoleh. "Ra, boleh masuk?" Tanya seseorang dibalik pintu, yang Nara yakini Keenan.

"Masuk aja."

Sejak kejadian malam itu, Keenan menjadi lebih protective kepadanya. Membuat Nara merasa jadi tidak enak karena telah merepotkan banyak orang.

Keenan membuka pintu kamar itu sepenunya, tak lupa meletakan sebuah kayu berbentuk balok kecil yang biasa dijadikan sebagai pengganjal pintu.

"Gimana, udah baikan?" Pertanyaan sama yang selalu diulangi oleh Keenan beberapa hari ini.

Nara mengerucutkan bibirnya kesal, "udah baik banget malah. Izinin aku keluar dong, please." Pintanya.

Keenan menghela napasnya, Nara termasuk kedalam spesies ajaib yang pernah ia temui. Setelah kejadian malam itu, tak ada satupun teman-temannya yang berani bertanya kepada Nara. Tapi, gadis itu sendiri yang malah menceritakan kronologi kejadian kepada teman-temannya, dan hal ajaib yang membuat mereka bingung adalah Nara beberapa kali tertawa saat menceritakannya. Bisa kalian bayangkan bagaimana ekspresi teman-temannya yang lain.

Bahkan saat itu Ana dan Rafi sampai mencoba mengajukan beberapa pertanyaan. Mencoba untuk mencari tahu, apakah kejadian itu menimbulkan trauma atau tidak. Tapi mereka tidak menemukan apapun, dan kesimpulan yang mereka ambil Nara hanya mengalami ketakutan normal dan shock ringan. Sehingga tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Di teras aja oke?" Kata Keenan yang disambut anggukan antusias oleh Nara. "Sini aku bantuin berdiri," lanjutnya.

Keduanya sampai di pintu kamar bertepatan dengan Malik yang sedang lewat ingin kebelakang. "Wah abis ngapain nih keluar kamar berdua-dua," katanya menggoda.

"Berisik, awas tuan putri mau lewat." Sahut Keenan sambil mendorong tubuh Malik agar ia bisa lewat.

Namun Malik malah berusaha menghalanginya. "Kasih tutup mulut dulu dong." Pintanya pada Keenan.

"Oh boleh, mau pake lakban putih apa item?"

"Heh, lo pikir gue kardus."

Nara hanya tertawa melihat interaksi keduanya, dulu ia pikir Alana dan Keenan yang akan menjadi kucing dan tikus selama mereka KKN, tapi ternyata salah. Definisi kucing dan tikus lebih cocok diberikan untuk Malik dan Keenan.

"Udah sana minggir, kasian ini Nara kakinya jadi sakit lagi kalo liat lo kelamaan." Kata Keenan kembali mendorong tubuh Malik lebih kuat dari sebelumnya, hingga membuat laki-laki itu sedikit terhuyung kebelakang.

"Dasar wakil laknat!" Kata Malik setengah berteriak.

***

"Eh Ra, sini duduk sebelah gue." Pinta Alana saat menyadari kehadiran gadis itu diruang tengah.

"Enggak mau La, maunya diteras. Udah lama gak cari angin." Kata Keenan memberi tahu.

"Disini aja, teras lagi rame sama ibu-ibu." Kata Aksa tanpa menatap Keenan dan Nara.

"Gimana Ra?" Tanya Keenan memastikan.

"Sini aja gapapa Nan," jawabnya tidak seantusias tadi.

Perlahan Keenan membantu gadis itu untuk duduk disebelah Alana, dibantu oleh Aksa. Walaupun omongannya suka pedes dan tajem banget, Aksa tetep perduli sama orang-orang sekililingnya ko. Contohnya seperti saat ini, ia langsung menoleh ketika mendengar Nara meringis. "Kenapa?" Tanya Aksa pada Nara.

"Hah? Enggak kok." Jawab Nara mengelak. Padahal ia merasa suara ringisannya sangat pelan, ko Aksa bisa denger.

"Mau gue panggilin Keenan?" Pasalnya saat ini diruang tengah hanya ada mereka berdua, bisa saja kan gadis itu sungkan terhadapnya.

Nara langsung menggeleng, "jangan, dia lagi sibuk nanti malah ganggu."

"Oke, kalo gitu bilang aja ke gue lo butuh apa, nanti gue ambilin." Kata Aksa sambil menatap gadis itu, pandangannya terarah pada luka di kakinya yang berdarah? Tunggu itu lukanya kenapa bisa berdarah lagi.

"Ck, kenapa gak bilang aja si kalo luka lo berdarah lagi." Katanya setengah kesal, laki-laki itu langsung bangkit dari posisinya entah kemana.

Nara mengamati kembali lukanya, tadi tanpa sengaja saat ia akan menggeser posisi, kakinya malah terpentok pada kaki kursi yang berada tak jauh darinya. Membuat lukanya kembali mengeluarkan darah. Saat masih terfokus mengamati lukanya, tiba-tiba ada tangan lain yang mencoba membersikan darah yang sedang merembes keluar.

"Kepentok?" Tanya Aksa dengan suara datarnya.

Nara hanya mengganguk, tak berani untuk bersuara. Entah kenapa ia menjadi takut jika berdekatan dengan Aksa. Bukan takut karena wajahnya yang datar itu. Tapi takut jika laki-laki itu kembali mengeluarkan kalimat pedas untuknya.

"Santai aja kali Ra," katanya berusaha mencairkan suasana.

Nara tersenyum canggung, "Ah iya Sa."

"Kenapa?"

Nara menatap laki-laki dihadapannya bingung, "apanya yang kenapa?"

"Kenapa lo keliatan takut banget sama gue." Tanya Aksa penasaran. "Karena kata-kata pedes gue waktu itu ya." Tebaknya.

"Iya sedikit," kata Nara pelan.

"Sorry Ra, itu kalimat spontan yang keluar dari mulut gue." Ungkapnya sedikit menyesal. "Walaupun sebenernya, gue emang gak suka liat orang yang ceroboh." Lanjutnya.

"Iya gapapa Sa, lagian emang akunya juga salah ko." Kata Nara memahami.

"Mau nanya boleh?" Tentu saja Nara langsung mengiyakan. Tidak mungkin kan, ia melarang orang yang ingin bertanya.

"Bahasa lo emang sealus ini?" Tanya Aksa dengan ragu. "Maksud gue, 'aku-kamu' walaupun ke cowok?" Lanjutnya.

"Iya, tapi kalo kamu gak nyaman khusus ke kamu akan aku ganti." Jawab Nara.

"Enggak, gue cuman penasaran aja." Kata Aksa, sambil beranjak menuju posisi awalnya, karena darah yang merembes dari luka gadis itu telah terhenti.

"Kalo gantian, aku mau nanya boleh?" Kata Nara sambil mencari posisi teraman untuk kakinya agar tidak terpentok lagi.

Aksa langsung mengganguk, "kenapa enggak."

"Jadi bener?" Sesungguhnya Nara bukan ingin mengikuti gaya berbicara Aksa, hanya saja ia masih ragu untuk menanyakan ini.

Aksa menoleh kesamping, menatap Nara dengan penasaran. "Apa?"

"Kamu sama Ana punya hubungan?"

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jurnal KKN NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang