s e m b i l a n

210 31 9
                                    

Pembangunan berjalan dengan sangat lancar. Anak-anak KKN dibantu para warga dan anak karang taruna membangun tanggul secara bersama-sama. Ada pula yang kebagian membersihkan saluran air yang tersumbat oleh beberapa sampah. Nara ditemani dengan Alana dan Ana membantu para ibu-ibu untuk membuat makan siang warga. Tradisi ini sering terjadi di beberapa daerah. Setelah kerja bakti, mereka akan makan siang secara bersama-sama.

Tak terasa hari mulai petang, pekerjaan mereka hampir selesai. Kemungkinan sebelum maghrib tanggul yang mereka perbaiki akan selesai.

"Ra, tadi orang material nelpon. Nanyain masalah pelunasan." Kata Alana.

"Oh iya La, kalo gitu aku kesana dulu ya." Nara hampir saja lupa, karena sejak tadi ia sibuk membantu warga.

"Eh Ra, tunggu Atha atau Rafi aja deh. Biar lo ada yang nemenin." Pinta Alana, karena gadis itu tidak bisa menemani Nara kali ini.

"Gapapa aku sendiri aja, mumpung belum gelap juga." Kata Nara meyakinkan.

Alana sebenarnya khawatir, tapi karena ia diberikan amanah untuk membersihkan peralatan masak yang tadi mereka gunakan, gadis itu jadi tidak bisa menemani Nara.

"Oke, hati-hati. Kabarin ya kalau ada apa-apa."

***

Nara menyesal karena tidak menuruti kata Alana untuk menunggu temannya yang lain agar tidak pergi sendirian. Tadi saat ia sedang berada di toko bangunan, ia bertemu dengan Pak Halim. Awalnya Pak Halim hanya bertanya tentang pembangunan mereka yang baru saja selesai, tapi keduanya malah terlarut dalam obrolan sampai tidak sadar bahwa hari sudah gelap.

Sebelumnya Pak Halim sudah menwarkan untuk mengantar Nara ke Posko karena gadis itu hanya sendiri. Tapi gadis itu menolak karena merasa tidak enak hati. Hingga berakhir ia berjalan pulang sendirian. Sialnya lagi, ponselnya kehabisan baterai. Membuatnya tak bisa menghbungi teman-temannya yang lain. Ia juga tidak memiliki penerangan sama sekali. Hanya lampu jalan yang remang-remang.

Namun, semuanya aman-aman saja. Tidak ada gangguan apapun. Saat Nara akan menuruni bukit, ia memelankan langkahnya, karena takut tersandung bebatuan. Terlebih ini benar-benar gelap.

Tuk.

Tiba-tiba saja ada satu batu berukurang sedang yang menggelinding dari arah belakang mengenai kakinya. Ia menoleh dengan cepat. Tidak ada siapapun disana, hanya ia seorang diri. Tapi kalau dipikir-pikir, batu itu tidak mungkin menggelinding jika tanpa dorongan dari makhluk hidup kan?

Nara jadi teringat kejadian beberapa waktu yang lalu. Saat ia dan teman-teman KKN-nya pulang dari dari acara Festival. Astaga, gadis itu juga baru ingat, Alana pernah memberitahukan agar mereka semua berhati-hati. Nara langsung mengambil langkah cepat, tidak lagi memperdulikan jalanan di depannya. Ia benar-benar takut.

Ketika langkahnya sudah dipercepat, ia juga mendengar suara langkah yang ikut dipercepat. Membuatnya tanpa sadar berlari dengan kencang. Bahkan ia tak sadar jika jalan yang dilaluinya salah. Ia malah berjalan menuju balai Desa, bukan Posko. Kepanikannya semakin meningkat ketika tanpa sengaja matanya menangkap cahaya senter yang sengaja diarahkan kepadanya.

Ditengah kegiatannya berlari, kaki gadis itu tersandung akar pohon yang menjalar diatas tanah. Membuatnya jatuh tersungkur. Lutut dan betisnya berdarah karena tertancap ranting kering. Ia mencoba bangkit, namun tak bisa. Kakinya terlalu sakit untuk di pakai berjalan kembali.

Akhirnya ia memilih untuk merapatkan tubuhnya pada pohon besar dibelakangnya sambil menutup mulutnya kuat. Agar tidak menimbulkan suara apapun. Rasa takutnya lebih besar dari pada rasa sakit dikedua kakinya saat ini. Sambil terus mengatur napas, gadis itu merapalkan doa dalam hati, semoga saja orang yang mengikutinya itu tidak melihatnya disini.

Tepukan di bahu Nara membuat gadis itu menjerit histeris sambil mengeluarkan air mata. Matanya memejam kuat karena terlalu takut melihat sosok orang yang sejak tadi mengiktunya.

"Astaga Ra, kamu kenapa?"

Itu suara Keenan, Nara sangat mengenalinya. Ia langsung membuka matanya dan mememluk laki-laki itu kuat sambil sesenggukan.

"Hei, tenang dulu ya. Tarik nafas kamu, terus lepasin pelan-pelan." Kata Keenan sambil mengelus punggung gadis itu menenangkan. "Udah?" Tanya Keenan lembut, yang hanya diajawab anggukan oleh Nara.

"Kita pulang aja ya, Malik sama Atha udah nunggu di bukit." Ajak Keenan sambil membantu gadis itu untuk berdiri, tapi tidak bisa. Nara tidak bisa berdiri dengan tegak membuat Keenan kebingungan.

"Eng—gak bisa N—an." Kata Nara terbata-bata.

Karena penasaran, Keenan akhirnya menyorot cahaya senternya ke kaki gadis itu. "Astaga Ra, kaki kamu." Laki-laki itu terkejut bukan main saat melihat kaki Nara yang sudah dipenuhi dengan darah.

Tanpa bicara apapun lagi, Keenan langsung menngendong Nara dipunggungnya dengan hati-hati dan membawanya pulang.

***

Semua orang yang berada di posko menatap terkejut kondisi Nara yang berada di gendongan Keenan. Mata memerah, wajah dipenuhi keringat, rambutnya yang berantakan, pakaiannya yang kotor dan terakhir, kakinya yang dipenuhi darah.

"La tolong ambilin handuk sama air bersih," pinta Malik kepada Alana, sambil membantu Keenan menurunkan Nara di gendongannya.

Ana mendekat sambil membawa tisu untuk mengelap wajah temannya itu, "kamu kena—

"Jangan ada yang tanya apapun!" Kata Keenan dengan tegas.

Ana langsung mengurungkan niatnya untuk bertanya, dan fokus untuk mengelap wajah Nara.

Keenan berjongkok dihadapan Nara, "Ra udah ya. Kamu yang tenang, ada kita semua disini." Keenan sangat khawatir, pasalnya gadis itu sejak tadi hanya diam saja, menangispun tidak. Padahal ia yakin luka di kakinya pasti sangat sakit.

*** 

*** 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Jurnal KKN NaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang