Pesanmu datang, tapi perasaanmu tidak
***********
Semula indah terasa, mereka s'ribu rencana
Mungkinkah hati miliki kembaran rasa?
Semua henti disana, percumaBulan, ingat lirik lagu itu? Ya, lagu yang membawa pesanmu datang secara tiba - tiba. Kala itu, tanpa diduga kamu membalas statusku.
'wow'
Komentarmu yang berhasil membuatku mengernyit keheranan. Aku balas dengan kata tanya 'kenapa'.
Lagi - lagi balasanmu tak datang dengan cepat, harus menunggu sekitar empat belas menit sampai pesanmu kembali datang menyapa
'Kaget aja masih ada yang dengerin lagu itu sekarang'
Itu balasanmu disertai emoji tertawa. Ku pikir kamu akan mengejekku karena masih mendengarkan lagu yang dirilis lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Namun nyatanya, kamu malah bertanya padaku apakah 'Float' termasuk musisi favoritku, karena kamu pun juga begitu.
Waktu itu, percakapan kita berlangsung seperti air yang mengalir—terus berlanjut dengan topik yang terus tersambung. Kamu menyukai musik dengan berbagai genre, kamu menyukai Float, Adhitia Sofyan, Reality Club, dan Nosstress. Kamu hafal lagu 'pulang' dan secara tak disangka - sangka kamu mengirimkan pesan suara berisi senandungmu.
Bulan, secara tak disadari, saling mengirim pesan denganmu menjadi rutinitasku. Pembahasan kita sangat tak menentu, terkadang membahas film, membahas musik, terkadang juga membahas hal - hal yang menarik di kampus. Setidaknya, percakapan tak menentu itu berlangsung lebih dari seminggu. Membuatku merasa begitu bahagia sampai lupa mungkin kamu hanya sedang merasa kesepian.
Kamu tahu apa alasan kenapa aku berfikir seperti itu?
Mari kuceritakan.
Bulan, awalnya kupikir aku sudah dekat denganmu, cukup dekat untuk saling melempar senyum kala tak sengaja berpapasan. Namun, sepertinya semesta telah menjadikan bercanda denganku sebagai hobi barunya. Karena apa? Karena tepat hari ke-sepuluh setelah kita saling mengirimkan pesan, setelah aku kembali percaya diri untuk melambungkan harapku ke langit, setelah bercengkerama denganmu lewat telepon telah menjadi rutinitas, tiba - tiba saja kamu menjatuhkanku dengan begitu keras. Kita berpapasan, saling beradu tatap, tapi kamu hanya melewatiku begitu saja—bahkan seulas senyum kecilpun tak ada.
Bulan, hari itu aku seperti terjatuh dengan begitu keras, seperti segala harap yang pernah kutinggikan ditumpahkan begitu saja oleh Tuhan. Gelagatmu yang seakan sama sekali tak mengenalku membuatku tersadar, bahwa aku memang berarti kosong bagimu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakuna | Moon Taeil
Short StoryUntukmu Sadewa Bulan Atmajaya, sejauh ini yang kuminta hanya satu; kamu bahagia dengan apa adanya dirimu. Buku ini aku persembahkan untuk Tuan yang namanya seirama dengan hiasan langit, Bulan. Tentang bagaimana semesta mempertemukan kita dengan cara...