***********
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarakMencintaimu harus menjelma aku.
Bulan, masih ingat puisi singkat di atas? Jika tidak, mari kuingatkan kembali. Puisi itu adalah salah satu karya Eyang Sapardi Djoko Damono, judulnya; Sajak kecil tentang cinta. Puisi singkat, yang kamu jadikan acuan untuk sajak kecil versimu sendiri.
Ku katakan kamu memang jarang melakukan hal - hal yang romantis, tapi sepertinya membacakan puisi secara tiba - tiba sudah cukup untuk membuatku sukar tidur semalaman.
Hari itu pukul empat sore, Semarang tetap berwarna terang dan panas walaupun matahari sudah mulai bergerak menuju tempat peristirahatannya. Kala itu aku tengah membaca buku karya Tere liye, duduk bersila di lantai teras kost. Sedangkan kamu, juga tengah bersila, gitar di pangkuan, dan sebuah buku karya Eyang Sapardi di tangan kananmu. Kuperhatikan dari balik lembar buku, alismu terlihat sedikit mengerut—seperti sedang menerka makna dari rangkaian kata yang tercetak.
"Amanda," panggilmu pelan.
Aku menurunkan buku yang sejak tadi menutupi hampir setengah wajahku, ku tatap dirimu dengan tatapan heran. Pasalnya, kamu tak pernah memanggilku dengan nada semisterius itu.
"Kalau mencintai gunung harus menjadi terjal-" kalimatmu berhenti di situ. Seperti potongan kalimatnya tertahan di ujung lidah. Bola matamu bergerak ke kanan dan ke kiri, sesekali melongokkan kepalamu ke dalam kost-an, seperti tengah was - was jika tiba - tiba ada monster yang muncul. Tepat ketika fokusku beralih dari buku menuju ruang tamu, secepat angin kamu mengecup pipiku.
Hanya beberapa detik—atau bahkan mili detik? Tapi cukup membuatku tersipu malu.
"Berarti mencintai Amanda harus menjadi Bulan" katamu lagi dengan tiba - tiba. Aku tak menjawab, hanya mengulas senyum tipis. Netra kita saling bertemu, ku telusuri cakrawala lewat netra jelagamu. Ku telusuri setiap rasa yang mungkin saja berusaha kamu sembunyikan di balik kerlingan matamu. Sejak hari itu aku tahu, bahwa untuk mengungkapkan cinta tak selamanya melalui ucapan kata.
Selanjutnya kamu memutus tatapanmu, tanganmu bergerak lihai mengambil kertas dan seperti tengah menulis sesuatu.
Aku tersenyum kecil ketika melihat alismu saling bertaut ketika kamu tengah menulis, terkadang kepalamu mengadah ke atas seperti tengah mencari jawaban dari langit. Bulan, sejujurnya kamu menjadi jauh lebih menarik ketika tengah berpikir.
Menunggu sepuluh menit, akhirnya tulisanmu selesai juga. Suara hentakkan kertas pada udara menjadi pembuka pertunjukanmu.
'Sajak kecil untuk Amanda' Judul tulisanmu.
Bukan puisi, tapi surat, katamu.
Namanya Amanda, gadis cantik serba bisa yang bisa membuatku jatuh cinta.
Namanya Amanda, gadis manis yang selalu tersenyum tipis
Katanya, untuk mencintainya tak harus menjadi sempurna.
Kataku, untuk mencintainya kau harus menjelma Sadewa.
Aku mengulas senyum, memberimu tepuk tangan sebagai sebuah bentuk apresiasi atas kerja kerasmu, walaupun sebenarnya sebait kalimat itu mungkin terdengar sedikit aneh hahaha. Ku lihat lengkungan bulan sabit mulai muncul di bibir manismu, matamu terlihat sedikit menyipit karena saking lebarnya senyummu.
Bulan, maaf karena hari itu aku tak menjawab. Maaf hari itu hanya tepukan tangan yang ku berikan. Maaf juga kalau hari itu aku tak bisa memberimu kecupan sebagai balasan.
Bulan, balasannya ku tulis di buku ini. Jika kamu berkenan, bolehlah mampir untuk sekedar membaca sebait - dua bait. Jikalau tidak bosan, tolong baca sampai lembar terakhir.
'Sajak kecil untuk Bulan'
Sayangnya, yang kutulis bukan hanya sajak kecil, tapi sebuah narasi yang tak pernah bisa ku ungkapkan saat aku bersamamu. Sebuah narasi, yang apabila Tuhan memberi keajaiban, narasi ini akan membawa semuanya kembali ke posisi yang semula.
Semoga.
*************
Hello!!!I'm back!!!
Maaf ya, untuk semuanya, untuk kurangnya dan ketidaksempurnaan buku ini, aku minta maaf.
Happy reading guys!!
Byebye~
Salam manis,
Royalsjeno_
KAMU SEDANG MEMBACA
Lakuna | Moon Taeil
ContoUntukmu Sadewa Bulan Atmajaya, sejauh ini yang kuminta hanya satu; kamu bahagia dengan apa adanya dirimu. Buku ini aku persembahkan untuk Tuan yang namanya seirama dengan hiasan langit, Bulan. Tentang bagaimana semesta mempertemukan kita dengan cara...