Chapter 11: Nepenthe

1.6K 238 26
                                    

Jaemin dengan cepat memencet tombol darurat dan Jeno langsung terbangun.

Renjun memegang kepalanya, "Tidak.. Jangan lagi.." katanya khawatir.

"Inara? Inara!"

Jaemin menelfon Jisung dan Chenle untuk segera datang. Setelah itu dia memberitahu Janis.

Sementara itu Inara yang masih berada di dunia yang entah ada dimana, sedang berjalan menghampiri meja makan yang ada di dalam sebuah ruangan putih itu.

Disana ada ayah dan ibunya yang sedang duduk dan tersenyum melihatnya.

Inara ikut duduk dengan mereka berdua.

Sambil tersenyum sumringah, Inara bertanya, "Ibu dan ayah kenapa ada disini?"

Ayahnya tersenyum dan menjawab, "Kami datang untuk melihatmu sebentar nak."

Ibunya menggenggam tangan Inara dan tersenyum, "Inara, apakah sulit selama ini tanpa ayah dan ibu?"

Raut wajah Inara langsung berubah sedih, tapi dia tetap mencoba untuk tersenyum, "Gapapa, Bu. Kadang-kadang memang sulit, tapi aku masih bisa menahannya."

Ayahnya mengelus kepala Inara dengan lembut, "Ayah tau kamu bisa. Kamu kan anak ayah yang paling hebat," Inara tersenyum sumringah.

Inara kemudian bertanya, "Ayah.. Ibu.. Siapa yang menyerang kalian malam itu?"

Pertanyaan itu membuat ayah dan Ibunya saling bertatapan.

Ayahnya menjawab, "Mereka kaum darah campuran yang jahat. Mereka yang belum bisa menerima hidup mereka sebagai manusia biasa. Mereka yang masih beranggapan jika memburu para darah murni, mereka akan hidup abadi."

Ibunya menggenggam tangan Inara, "Nak, tidak semua kaum darah campuran itu jahat. Ada yang sudah menjalani hidup mereka seperti manusia biasa. Mereka tidak menyakiti siapapun dan bahkan hidup tenang dengan keluarga mereka."

"Beberapa dari darah campuran yang masih menginginkan keabadian membentuk sebuah kelompok. Mereka mempunyai 1 pemimpin, dan anak buahnya tersebar luas di negara ini," Lanjut Ayahnya.

Inara mengelus tangan ibunya, "Apa aku harus menghancurkan mereka, Bu? Mereka sudah merenggut kalian dariku.." katanya sambil menatap mata ibunya lekat.

Ibunya menggeleng, "Dari awal tugas kita adalah menjaga, bukan menghancurkan. Jaman dahulu memang para leluhurmu membunuh sebagian dari para darah campuran yang jahat itu. Tapi menurut ibu, mereka juga punya hak untuk hidup.."

Inara tersenyum miring dan melongos, "Tapi mereka membunuh kalian berdua. Bagaimanapun aku masih tidak bisa menerimanya," kata Inara sambil mengigit bibirnya menahan tangis.

Ayahnya tersenyum dan menepuk pundak Inara, "Nak, menyakiti kembali orang lain dengan cara yang sama, hanya akan membuat kita menjadi seperti mereka. Kau tidak tumbuh untuk menyakiti orang lain."

Bendungan airmata Inara pun kembali hancur mendengar perkataan ayahnya.

Ibunya memeluknya, "Suatu hari kau akan menemukan caramu sendiri untuk menjalani tugasmu, untuk menjaga mereka, untuk mengembalikan kembali perdamaian itu. Ibu dan para leluhurmu akan mendukung dan menjagamu dari sini."

Inara mengangguk, "Iya, Bu.." jawabnya sambil tersedu-sedu memeluk ibunya.

"Inara! Inara! Nunaa!"

Suara itu menggema pelan di ruangan putih itu. Suara para Dreamies.

"Mereka masih membutuhkanmu, kembalilah, Nak. Belum waktunya kita bersama.. Jaga dirimu baik-baik ya.." kata Ibunya sambil mengusap airmata Inara.

"Ayah percaya padamu, kalian harus saling menjaga satu sama lain untuk saat ini dan kedepannya ya. Anak ayah kuat kok, ayah percaya," Ayahnya memeluk Inara.

Five Luck [NCT Dream FF]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang