-13-

28 3 3
                                    

- Fedillo -



Gak ada satu hari di mana gue membayangkan gue akan melihat Papa yang datang untuk menghampiri gue dengan kemeja yang lusuh.

Gue terbiasa melihat dia menjadi seseorang yang selalu tampil gagah sekalipun dia cuma pake kemeja dan celana bahan.

Beberapa jam yang lalu, kepala gue sempat terasa pening sampai gue gak sadar kalau gue ketiduran di bangku depan ruang inap Mama.

Arsenio juga baru aja pamit untuk pulang karena dia juga mesti sekolah besok paginya.

"Makasih," gue bingung untuk bilang apalagi pada Arsenio sebelum dia benar-benar pulang.

Mungkin, dia sedikit heran dengan gue yang mendadak irit ngomong di saat biasanya gue akan terdengar ceplas ceplos.

Dia cuma mengangguk.

Lagi, Arsenio tetap Arsenio yang gak banyak bicara.

Sebelum dia berlalu meninggalkan gue, kalimatnya membuat sesal yang sedang berusaha gue timbun perlahan muncul lagi.



"Kak Denila... dia orang baik."

Gue terdiam.

Gak paham dengan apa yang dia maksud.

Sekalipun gue ingin bertanya apa maksudnya, gue tetap diam mendengarkan kalimat Arsenio hingga selesai.

"Dia sempet ngobrol sama Tante Rasmi waktu lo tidur."

"....Tante Rasmi keliatan seneng ketemu Kak Denila."

Arsenio pergi tanpa mendapat sebuah kalimat balasan dari gue.

Kalimatnya masih berputar di otak gue hingga saat Papa menatap gue setelah dia mengecek keadaan Mama gue masih memikirkannya.

"Kamu udah makan, Dil?" tanyanya seraya menepuk bahu gue.

Gue menoleh mendapati Papa yang bersandar pada kursi yang kami duduki berdua saat ini.

Bukan sebuah jawaban, melainkan gue memanggilnya. Untuk memastikan kalau dia gak marah karena anak satu-satunya ini beberapa kali mengecewakan.

"Pa..."

Apa dia udah benar-benar pulang?

Kenapa dia sempat ngobrol sama Mama?

"Mama bilang, kamu belum bicara dengannya."

Mungkin Papa tau, kalau setelah gue memanggilnya gue akan kembali pada diri gue yang penuh penyesalan.

Diri gue yang selalu menyesal setelah sesuatu terjadi.

Diri gue yang berkata, "Maaf ya, Pa." di saat gue menyesal akan sesuatu.

Begitu aja gue berjalan masuk ke ruang pasien bernomor lima yang entah sejak kapan menjadi wanginya berubah menjadi harum lavender.

Playing Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang