- Denila -
Kayaknya hal yang paling gue sesali sekarang adalah untuk tetap meng-iyakan ajakan Pak Radit lagi buat meeting yang kedua kalinya.
Beda nya sekarang, gantian para wakil perusahaan dari Jakarta yang nyamperin kita di Bandung.
Tetap aja sih, menurut gue hal itu melelahkan.
Padahal meeting nya besok, tapi gue udah mumet duluan. Besok bagian gue dan Pak Radit yang presentasi keuntungan apa yang mereka dapet waktu kerjasama sama perusahaan kita.
Dan, Pak Radit baru kasih tau gue siang tadi untuk bikin power point. Saat itu juga gue perlu siapin power point buat besok.
"Denila, kamu tolong siapin power point buat besok. Nanti saya WA apa aja point yang harus ada di sana."
"Baik, Pak..."
Gue menghela nafas berat ketika power point yang gue kerjakan hampir selesai. Untung waktu dulu ada kerja kelompok bikin power point, gue gak pernah absen buat gak ikut.
Jadi, bikin power point gak begitu sulit waktu gue memang benar-benar mengerjakannya dengan sungguh-sungguh.
"Denila?" Terdengar suara Mama dari balik pintu kamar gue yang tertutup.
"Kenapa, Ma?" Gue bangki dari kasur dan membuka pintu untuk mendapati Mama sedang membawa nampan berisikan makanan yang gue yakin buatan Mama.
Ah iya, gue lupa makan.
"Kamu tuh.. kenapa suka telat makan."
"Lupa, Ma," gue mengambil alih nampan tersebut dari tangan Mama.
Saat sorot mata Mama mulai terlihat berbeda, gue yakin setelah ini ada sesuatu yang mau dia bilang.
"Dibawah ada Arvan."
Dan benar saat gue memilih menyimpan makanan yang Mama bawa terlebih dahulu, menuruni anak tangga untuk mendapatinya yang sedang duduk di kursi ruang tamu.
"Ngapain?" Tanya gue dingin tanpa ekspresi yang berarti.
"Den-"
"Kalau gak penting, mending lo balik."
Gue berusaha untuk gak terdengar peduli. Padahal hati kecil gue bilang bahwa seharusnya gue gak begini.
Entah apa yang membuat gue tetap menerima ajakannya untuk pergi sebentar. Lagi, gue gak ngerti sama perasaan gue sendiri.
Di mobil, cuma ada keheningan yang menemani. Gue benci untuk menghadapi situasi ini. Terlebih saat dia bilang,
"Aku kangen deh sama Varo.."
"..."
"Kita kerumah Tante Liana ya, Denila."
Alvaro adalah sepupu gue dari adik Mama. Umurnya masih 9 tahun. Kadang, gue selalu menyempatkan untuk mengajaknya bermain.
Terlebih, saat mengenal Arvan, dia yang jadi selalu menawarkan diri untuk jadi seseorang untuk Alvaro.
Teman main.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playing
Fanfiction[On going] - We play games, not feelings. But sometimes, we are cowards. - Selamat datang dan berkenalan dengan Fedillo dan Denila serta yang lainnya.