-15-

41 4 4
                                    

- Fedillo -

Kesekian kali nya gue hanya diam menatap langit malam tanpa suara, tanpa siapapun di samping gue. Balkon kamar selalu menjadi tempat untuk gue menatap bintang di malam hari.

Cuma ada gue, pikiran gue dan suara hati gue. Mereka berteriak seolah meminta mendapat posisi pertama untuk didengar.

Jangan jatuh.

Jangan diam.

Masa SMP gue adalah masa di mana gak akan pernah gue lupa. Bahkan, nantinya akan gue ceritakan pada anak-anak gue kelak.

Kalau dulu, ayahnya pernah keras dalam menjalani hidup sekalipun gak banyak yang tahu.

Bukan soal gagal, bahkan gue selalu berhasil mendapat apa yang gue mau saat gue duduk di kelas tujuh sampai sembilan SMP.

Gue selalu mendapat nilai matematika tertinggi dikelas, dan ya, gue bangga atas pencapaian gue.

Sayangnya saat itu, gue tetap merasa kosong.

Karena sekalipun gue mendapat nilai tertinggi satu sekolah, gue akan tetap gak tau bagaimana cara merayakannya. Bagaimana dan dengan siapa gue akan merayakannya.

Saat pulang sekolah dulu, rumah selalu kosong.

Cuma karena gue mendapati rumah selalu kosong saat gue selesai ujian dan mendapat hasil terbaik, gue akan berakhir merasa kalau gak ada yang harus dirayakan.

Bokap dan nyokap pulang setelah gue. Dan ya, setelah itu gue akan berakhir diam karena rasanya gue bisa untuk gak membaginya. Entah itu hal senang atau bahkan menyedihkan.

"Dillo.. kamu gak ada yang mau di ceritain sama Mama dan Papa?"

Saat Mama dan Papa kala itu hanya menatap gue untuk menunggu jawaban. Gue tau apa yang sebenarnya gue mau.

"Bisa gak Mama satu minggu gak ngantor buat temenin Dillo?"

Iya, kesepian.

Gue yang ternyata sedari dulu hanya merasa kesepian.

Gue gak butuh nilai besar di setiap ulangan, gue gak butuh mendapatkan juara satu di kelas, kalau yang ternyata gue butuhkan adalah hanya rumah yang ramai.

Dan sekarang... gue kesepian.

Berapa kali gue melewati ini sampai gue terbiasa?

Gue pikir, saat Mama benar-benar berhenti kerja seperti sekarang dan selalu dirumah akan menghapus rasa kesepian gue yang kadang hadir. Bahkan selalu ada.

Tapi nyatanya nggak.

Gue malah merasa bersalah atas gue yang membebankan perasaan kesepian gue pada orang lain.

Semakin gue beranjak dewasa, gue sadar kalau kesepian gak akan bisa gue hapus.

Kadang gue membutuhkannya, kadang gue membencinya.

Gue sadar kalau salah satu cara agar gue bisa berdamai dengan kesepian adalah dengan menjadikannya teman.

Dan kali ini, gue membencinya.

Playing Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang