Prolog

8.3K 533 45
                                    

🔥Selamat membaca 🔥

"Kapan Ayah memenuhi janji padaku?" Seorang gadis menatap sendu sang Ayah dengan kedua tangan mungilnya memegang tangan ayahnya erat.

Sang ayah menatap putrinya datar, tidak ada ekspresi satupun diwajahnya. "Tunggu bulan purnama tiba," ucapnya sambil mengelus surai indah milik putrinya.

"Apakah ibunda akan datang di malam bulan purnama?" Seketika tatapan sendu tadi hilang begitu saja digantikan binar kebahagiaan yang terpancar jelas diwajah mungilnya.

"Maaf Pangeran, Ibu suri telah menunggu Anda." Perbincangan anak dan ayah itu terpotong ketika seorang pengawal menghampiri mereka.

Sang Pangeran menganggukkan kepala satu kali. Ketika pengawal itu pergi, ia menatap kembali putrinya yang berumur delapan tahun. "Ayah akan kembali, kau bermainlah bersama Sea di taman." Tanpa menunggu jawaban dari sang Putri ia menghilang begitu saja.

Helaan napas kasar terdengar dari sang Putri, ia membaringkan tubuhnya menyamping. "Apakah aku harus mempercayai lagi ucapanmu itu, Ayah? Kau terus mengatakan jika Ibunda akan kembali pada malam-malam yang bersejarah. Tetapi, semua itu bohong! Ibunda tidak datang Ayah! Tidak datang!" Air mata sang putri mengalir begitu saja. Ia sangat berharap kalau malam bulan purnama tiba ia bisa bertemu dengan Ibundanya, ia sangat mengharapkannya.

Sudah bertahun-tahun ia menunggu kedatangan sang Ibunda. Tetapi, sampai sekarang semua sia-sia. Elysia ingin seperti Putri yang lain, didampingi sang Ibunda ketika bepergian, kemanapun ia pergi sosok Ibu berada disampingnya.

"Putri Elysia, anda baik-baik saja Putri? Kenapa menangis?" Seorang gadis remaja lari terpogoh-pogoh menghampiri Putrinya. Ia sangat khawatir ketika melihat sang putri yang ia jaga dan ia rawat dari bayi tengah berbaring sambil menangis.

Putri Elysia mengubah posisinya menjadi duduk dipinggir ranjang, ia menatap pelayanan pribadi yang sudah ia anggap sebagai kakaknya itu dengan tatapan berlinang air mata. "Apa benar Ibunda akan datang saat bulan purnama tiba, Kak Sea? Ayahanda tadi mengatakan itu padaku."

Sea menatap prihatin sang Putri. "Pasti, Tuan Putri. Ibunda Putri akan datang."

Putri Elysia menggeleng pelan, ia menatap lukisan sang Ibunda yang Ayahnya berikan ketika pertama kalinya ia mulai menyadari tidak ada sosok Ibu disampingnya. "Tidak Kak Sea. Ibunda tidak akan datang. Mungkin, Ibunda tidak akan pernah datang menemuiku. Kau tahu Kak, Ayah selalu mengatakan Ibunda akan datang. Tetapi, semua itu ... kau tahu sendiri Kak."

"Putri percayalah pada Pangeran. Itu semua ia lakukan untukmu, Pangeran tidak mau melihatmu bersedih."

Elysia memalingkan wajahnya, ia menyeka air mata yang terus mengalir dengan derasnya. Netranya kembali menatap lukisan menawan itu. "Aku harap Ayahanda tidak berbohong lagi padaku," ucapnya dalam hati.

ꔷ┈────────┈ꔷ

"Luisa! Antarkan ini pada meja nomor 24," teriak Nat kepada pelayan yang baru saja tiba didapur.

Luisa segera mengambil pesanan itu dan mengantarkannya pada meja yang Nat katakan tadi.

"Selamat menikmati," ujarnya lembut pada pengunjung meja nomor 24 yang dibalas senyuman.

Setelah mengantar pesanan tadi, Luisa segera pergi dari sana dan kembali ke dapur. "Aku telah menyelesaikan pesanan terakhirku. Apakah aku bisa pulang?" Tanyanya pada Nat.

"Iya tapi kau-"

"Kau tidak diijinkan pulang!"

Nenek dower lagi, fyuh. Batin Luisa ketika melihat seorang ibu-ibu berkacak pinggang yang kini sudah didepannya.

"Maaf Madam. Tapi ini sudah waktunya untukku pulang."

"Dasar kau! Disini pemilik resto ini kau apa aku?! Beraninya kau ini, lama-lama kupotong gajimu." Mata Lui membulat sempurna, apa katanya? Memotong gaji? Gaji sebulan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya satu bulan dan tadi bosnya mengatakan akan memotong gajinya? Oh yang benar saja!

Luisa memberanikan diri untuk menatap sang bosnya itu. "Maaf Madam. Apa kesalahanku? sehingga gajiku dipotong."

"Kau kira aku tidak tahu minggu kemarin kau pulang lebih awal dua hari berturut-turut." Madam Jess berkacak pinggang, matanya memelototi Luisa.

Luisa menghembuskan nafasnya kasar. Kalau saja ia tidak waras pasti ia akan memutar kedua bola matanya dihadapan bosnya ini. Sungguh, nenek lampir. "Maafkan aku, waktu itu ada hal yang mendadak."

Madam Jes terlihat menuntut penjelasan Lui lebih panjang. Tetapi, melihat Lui yang hanya diam saja membuatnya semakin kesal. "Yasudah aku maafkanmu kali ini. Tapi, kalau kau mengulangi lagi jangan harap kau bisa menginjakkan kaki disini lagi!"

"Oh ya, satu lagi." Madam Jes kembali menatap Lui tajam. "Kau ku pindahkan menjadi pengantar pizza," cetusnya. Setelah itu ia keluar dari dapur dan menutup pintunya dengan kencang membuat siapa saja yang mendengarnya mengelus dada.

Pengantar pizza? Okelah Lui menerima itu. Setidaknya ia tidak berjalan kesana-kemari terus-terusan, berkendara motor untuk mengantarkan pizza pesanan itu cukup menarik. Bayangkan saja ia sedang berkeliling kota Voltra tiap hari dan mengunjungi setiap rumah yang pemiliknya memesan pizza Madam Jes.

Akhirnya Lui bisa berbaring di kasurnya yang tidak empuk sama sekali tapi, mampu membuat Lui tidak bisa beranjak dipagi hari. Lui akan memejamkan matanya kalau saja ketukan dipintu utama tidak terdengar olehnya.

"Ayri!" Lui mempersilahkan tetangganya masuk kedalam rumah walaupun ia tadi sempat menggerutu.

"Kau baru pulang Lui?" Ayri mendudukkan dirinya di sofa usang milik Lui.

Lui mengangguk. "Yeah, tadi ada kendala sedikit. Oh ya, tumben kau kemari malam-malam begini."

"Besok kan bulan purnama. Kayaknya aku bakal pindah deh." Dahi Lui melipat samar, pindah pada bulan purnama? Kenapa harus bulan purnama coba.

"Kenapa harus bulan purnama?" tanya Lui, membuat Ayri yang tengah menunduk mejadi mendongak padanya. "Ah enggak. Tadi, aku-kebetulan aja mungkin, jadi aku sambungin deh. Biar agak berkesan gitu," jawab Ayri ragu.

"Oh gitu."

Beberapa menit suasana menjadi hening, Lui bingung ia harus berkata apa. Karena, ia dan Ayri jarang bertegur sapa dan sifat Ayri yang kadang cuek dan aneh membuat Lui berfikir dua kali untuk menyapanya, ketika berpapasan. Waktu itu ia menyapa Ayri tetapi, gadis itu malah memalingkan wajahnya dan mempercepat langkahnya seolah menghindarinya.

"Yasudah aku pamit dulu, selamat malam."

Lui tersentak dari lamunannya, ia mengikuti Ayri yang sudah berdiri dan tersenyum kearahnya. "Iya, nanti aku membantumu besok untuk berkemas."

Ayri mengangguk kaku. "Oke."

n: semua tempat didalam cerita ini hanya karangan saya semata, tidak ada didunia nyata.

See you next part

Jeykey 04

Eternal Devil [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang