[17] Its Not Over Jani

176 20 4
                                    

5 Maret 2025
Seoul, Korea Selatan

Brian sedang duduk sambil menunggu seseorang disudut kafe, dan menyesap Ice Americano pahit miliknya, salah satu kopi kesukaannya yang tidak pernah berubah. Semakin pahit maka akan semakin nikmat rasanya menurut Brian. Tiba-tiba ranarnya tertuju pada seorang anak laki-laki, yang sedang berlari kecil mengejar seekor kucing. Brian berfikir ibu bodoh mana, yang melepaskan anaknya sendiri seperti itu di tempat umum. Ia hendak ingin berdiri dari kursinya untuk menghampiri anak itu, namun tiba-tiba kakinya seperti terpaku di tempat, karena melihat sosok seorang wanita, yang telah lama ia bunuh dalam fikirannya. Kini wanita itu berdiri bersama anak kecil tadi tepat dihadapannya.

Wanita itu telah banyak berubah dari terakhir kali ia melihat sosoknya, sekarang wanita itu jauh lebih kurus dari sebelumnya, dapat Brian lihat dari pergelangan tangannya yang menyusut. seakan-akan tubuh mungilnya hanya dilapisi oleh kulit. Rambut panjang sepundak miliknya, kini telah berubah menjadi hanya sebatas leher. Wanita itu masih tetap tidak menyukai rambut yang panjang rupanya, batin Brian. Satu yang tidak berubah darinya, yaitu aura seorang wanita yang mandiri, seolah-olah ia tidak membutuhkan siapapun di dunia ini, kecuali dirinya sendiri. Aura itu tidak berubah, melainkan bertambah kuat, dan Brian akui itu.

"Ian! Mommy kan sudah bilang tunggu di kursi dan jangan kemana-kemana. Mommy hanya ke toilet sebentar sayang," wanita itu memberikan pengertian kepada sang anak yang tengah bermain dengan seekor kucing liar.

"Im so sorry Mommy, tadi Ian lihat ada kucing lucu sekali. Ian hanya ingin bermain sebentar," jawab anak kecil itu polos dengan wajah tertunduk karena merasa bersalah kepada sang ibu.

"Iya sayang, tapi lain kali jangan begitu ya. Mommy khawatir sekali waktu kembali dari toilet, Ian tidak ada di kursi. Lain kali Ian boleh bermain dengan kucing, tapi tunggu Mommy kembali, okay?" wanita itu mengelus surai hitam anaknya dengan gemas.

Surai hitam milik Ian sangat persis dengan milik ayahnya, bahkan jika ada yang mengenali seperti apa sosok sang ayah kecil, itu benar-benar tidak jauh berbeda dengan anaknya sekarang.

"Ayo kita kembali ke dalam sayang,"  wanita itu mengajak sang anak untuk kembali ke dalam kafe.

"Jani ..." Brian yang dari tadi hanya mengamati interaksi wanita itu dengan seorang anak laki-laki ini, akhirnya memutuskan untuk mendekati keduanya.

"Brian!" Jani benar-benar tidak menyangka akan kembali bertemu pria ini di sini. 

Jani tahu, ketika ia memutuskan menginjakkan kakinya ke Korea satu setengah tahun lalu, resiko terbesarnya adalah hal seperti ini suatu saat akan terjadi. Namun Jani tidak pernah berfikir akan secepat ini. Hei Seoul itu luas, dan ada banyak ribuan manusia di sini, tapi kenapa semesta seolah-olah ingin ia dan Brian bertemu secepat ini.

Laki-laki dihadapannya kini masih tetap tampan, tidak berubah. Namun sorot matanya ketika menatap Jani bukanlah sorot mata lembut yang ia tunjukkan beberapa tahun lalu, melainkan sorot mata yang sarat akan kebencian.

"Kau masih mengenaliku rupanya?" mata Brian tidak dapat berpaling dari kalung dengan bandul huruf J yang masih setia melingkar diceruk leher milik wanita itu. Brian benar-benar masih ingat siapa pemberi kalung itu, tidak lain tidak bukan adalah dirinya.

"Mommy, om ini teman Mommy?" tanya sang pangeran kecil dari balik tubuh Jani.

"His your child?" Brian sangat penasaran siapa anak laki-laki yang tangannya sedang Jani genggam dengan erat dihadapannya ini.

"Maaf aku sedang buru-buru sekarang," Jani ingin segera pergi dari tempat ini, namun tiba-tiba Brian mensejajarkan tubuhnya dengan Ian, sehingga menghalangi Jani untuk melangkah pergi.

"Hei whats your name boy?" tanya Brian kepada sang pangeran kecil yang menggemaskan.

"Ian!" jawabnya dengan semangat memperkenalkan diri.

"Ian?" Brian mengernyitkan dahinya, kenapa nama ini sangat mirip dengan namanya, seolah-olah sengaja nama ini diberikan.

"Oppa! Kau sedang bersama siapa?" tiba-tiba kegiatan Brian terusik, karena panggilan seorang wanita menawan dengan balutan suit berwana biru laut, yang tengah berjalan menghampiri ketiganya.

"Ah tidak, aku hanya tidak sengaja bertemu dengan kenalanku di Canada," ucap Brian yang kini tengah berdiri mensejajarkan dirinya dengan wanita disampingnya ini.

Kenalan? sialan. Apa ia tidak bisa memilih kalimat yang jauh lebih halus dari ini. Jani merutuk didalam hatinya, tapi pria itu benar tidak ada kata yang dapat mendeskripsikan hubungan mereka berdua di masa lalu selain hanya sebatas kenalan. Tanpa sadar Jani tersenyum miris, apa yang ia harapkan dari pertemuan konyol ini, terlebih dengan sosok wanita dihadapannya ini yang ia yakini keduanya memiliki hubungan yang lebih dari sekedar teman.

"Oh.. hai perkenalkan aku Kang Seulgi tunangannya Brian," ucap wanita itu memperkenalkan diri dengan aksen bahasa Inggrisnya yang sedikit aneh.

Bingo! Tebakan seorang Jani benar, mereka lebih dari teman. Bahkan wanita itu telah menjadi tunangan seorang Briang Kang. 

"Jani, aku hanya kenalan Brian sewaktu di Canada. Aku sedang terburu-buru permisi," ujar Jani seraya menekankan kata kenalan kepada wanita itu. 

Mendengar kata tunangan yang kelur dari mulut wanita bernama Kang Seulgi itu, bibir dan tenggorokan Jani tiba-tiba terasa kering. Jani buru-buru menarik tangan anaknya untuk menjauh dari kedua orang itu.

Brian menatap dengan tajam punggung Jani, yang terlihat sekali bahwa ia buru-buru ingin meninggalkan tempat ini, atau lebih tepatnya menjauh dari dirinya dan wanitanya.

"Temanmu sewaktu sekolah di Canada?" tanya Seulgi yang sedikit penasaran dengan wanita tadi.

"Bukan, dia hanya seorang kenalan yang tidak berarti," ujar Brian dengan dingin.

"Ah begitu, ayo kita pesan minuman aku sangat haus habis rekaman tadi," ucap Seulgi manja kepada sang kekasihnya seraya mencoba mengalungkan lengannya di lengan Brian.

Tidak seperti biasanya, kali ini Brian melepaskan lengan kekasihnya, entah kenapa tiba-tiba ia merasa tidak nyaman dengan perlakuan Seulgi.

"Oppa, kenapa?" Seulgi melancarkan protesnya melihat Brian yang menolak disentuh.

"Hm .. maaf aku hanya merasa kepanasan sekarang, jadi tolong jangan terlalu dekat."

"Baiklah jika begitu," ujar Seulgi seraya menggeser tubuhnya dari samping Brian. Bukan baru kali ini ia diperlakukan kekasihnya sendiri seperti orang asing, tapi Seulgi tetap bertahan karena ini percaya, bahwa waktu akan membawa Brian kedalam pelukannya.

Sedangkan Brian, sedang berkemalut dengan fikiriannya, pertemuannya dengan Jani benar-benar membuat ia kehilangan akal fikirannya. Brian benar-benar merasa tertarik, ketika semua hal berurusan dengan wanita itu. Rupanya alam semesta masih ingin mempertemukan keduanya. Brian dapat berkata bahwa ia sekarang membenci seorang Jani, ditambah lagi saat ini, ia tengah melihat Jani bahagia dengan keluarga kecilnya. Namun tidak ada yang pernah tahu hingga saat ini, apakah benar pria ini membenci Jani? atau itu hanyalah sebuah kamuflase Brian terhadap dirinya sendiri.

***

The Black Rose; YoungK Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang