[7] Friend Zone

203 20 2
                                    

Sungjin yang menyadari Brian hari ini menjadi sedikit pendiam tidak seceria biasanya, memutuskan untuk menanyakan apa yang sedang terjadi dengan Brian.

"Hei Kang Bra," Sungjin memanggil Brian, namun tidak ada respon.

"Kang Younghyun, Young K, Brian, Kang Bra!" kali ini Sungjin memanggil Brian dengan menyebutkan semua nama panggilan Brian, agar pria yang sedang menatap langit-langit kamar itu menanggapi panggilannya.

"Ne, Hyeong," Brian menolehkan kepalanya menghadap Sungjin.

"Kau kenapa?" tanya Sungjin kepada Brian.

"Hm .. tidak apa-apa," Brian menjawab dengan ragu.

"Kau jangan berbohong."

"Hyeong sepertinya aku menyukai seseorang," Brian memberanikan diri untuk menceritakan masalahnya kepada sang leader.

"Jani yang kau maksud?" tanya Sungjin dengan santai.

"Bagaimana kau tau?" Brian terperanjat dari tidurnya dan langsung seketika mengambil posisi duduk di kasur.

"Hahaha Kang Bra akhirnya kau menyadarinya juga ya. Kami semua sudah tau dari lama, jika kau menyukai Jani. Mungkin selama ini kau sendiri yang tidak tau bahwa kau menyukainya. Lalu apa masalahnya? Katakan saja perasaanmu padanya."

"Tapi ... sepertinya tidak ada kesempatan untukku, dia seperti tidak ingin menjalin hubungan lebih dari teman dengan siapapun."

"Jani memang terlihat misterius di mataku, tapi Kang Bra kau juga tidak bisa memaksakan perasaanmu kepadanya, cobalah dengan perlahan. Coba saja dengan menjadi teman dekat terlebih dahulu, kita tidak tau kedepannya kalian akan menjadi seperti apa. Jika memang kalian ditakdirkan untuk bersama, maka kalian akan bersama," Sungjin memberikan solusi kepada Brian, agar sedikit meringankan beban yang dirasakan olehnya.

"Ne Hyeong, sepertinya benar katamu. Aku harusnya tidak memaksakan perasaan ini kepadanya aku tidak ingin membebankannya, cukup dengan melihat Jani nyaman berada disampingku. Aku ingin ke dapur mengambil bir, apa kau mau?"

"Tidak aku ingin tidur saja."

"Okay," Brian beranjak dari kasurnya dan pergi menuju dapur untuk mengambil bir.

Setelah BBQ Party selesai pada jam 12 dini hari semua orang sudah kembali kedalam kamar masing-masing. Namun Jani tidak bisa tidur malam ini, entah mengapa fikirannya di isi dengan seorang Brian. Jam pada dinding kamarnya sudah menunjukkan pukul tiga dini hari.

Jani menuju dapur untuk mengambil sekaleng bir. Sepertinya takdir sedang mempermainkan dirinya, lagi-lagi ia bertemu Brian di ruang tengah dengan satu botol bir di tangannya dan dua botol bir kosong di hadapannya.

"Apa kau sedang ingin mati Brian? Minum bir tanpa cemilan seperti itu!" Jani secara spontan memarahi Brian ketika ia melihat pria itu minum bir tanpa cemilan. Cara minum seperti itu akan lebih cepat membuat pria itu mabuk.

Lalu Jani pergi ke dapur untuk mengambil bir miliknya dan sebuah cemilan untuk diberikan kepada Brian. Brian diam di tempatnya tidak bergeming dan juga tidak menatap Jani.

"Aku akan kembali ke atas," ujar Jani setelah ia memberikan snack kepada Brian.

"Jani .. maukah kau menemaniku sebentar?" Brian mengangkat kepalanya dan menatap Jani yang hendak pergi meninggalkannya.

"Kau ada masalah?" Jani mengurungkan niatnya dan memilih duduk dihadapan Brian untuk menemani pria itu.

Terjadi sunyi yang cukup lama sebelum akhirnya Brian berani menanyakan apa yang ada dibenaknya selama ini.

"Hubungan kita apa? Kau anggap aku seorang teman, atau masih seperti orang asing di matamu?" tiba-tiba Brian menanyakan pertanyaan yang sangat serius, mungkin juga ini adalah pengaruh dari alkohol yang telah dikonsumsinya, sehingga Brian sedikit kehilangan kesadarannya.

"Pertanyaan konyol apa ini?" tanya Jani kepada Brian.

"Tolong jawab. Apa artinya aku bagimu?" Brian menatap Jani lebih dalam.

"Teman, aku menganggapmu teman. Kita hanya sebatas teman Brian," Jani tidak dapat menghindar dari tatapan mata Brian. Sialan hatinya berdebar ketika melihat pria ini lebih dekat.

"Terima kasih itu cukup bagiku, sekarang kita berteman ya?" Brian menghela nafas lega dan tersenyum kepada Jani dengan kedua matanya.

Malam ini Brian merasa ia lebih dekat dengan Jani, ia merasa wanita itu sedikit memberinya celah untuk masuk kedalam kehidupannya.

Keesokan harinya, semua orang yang berada di vila utama tengah berkumpul di ruang tengah setelah menyelesaikan acara makan siang bersama. Semua sedang memikirkan ingin bermain games apa, agar liburan ini tidaklah membosankan. Akhirnya Jae mengajak semua orang untuk bermain Truth or Dare, dan semuanya menyetujuinya. Mereka duduk melingkar dengan sebuah botol sebagai alat permainan berada ditengah-tengah mereka.

"Aku yang akan memutarnya pertama!" ucap Lisha dengan semangat, botol hijau tersebut berputar dan berhenti tepat didepan Jae.

"Truth or Dare?" tanya Lisha.

"Truth," ucap Jae.

"Kapan pertama kali first kiss-mu Jae? haha," tanya Lisha sengaja ingin membuat Jae kesal.

"Sh*t, are you crazy Lisha? Huh! Senior High School," Jae menjawab dengan sangat terpaksa.

Semua orang tertawa melihat tingkah kesal Jae kerana pertanyaan Lisha yang konyol.

"Oke selanjutnya aku," Jae memutar botolnya, dan botol itu berhenti tepat di depan Brian.

"I got you Brian, Truth or Dare?" Jae bertanya sangat bersemangat, berharap Brian akan terkena jebakan seperti dirinya.

"Hmmm ... I think dare," Brian tidak ingin mengambil resiko, jika
memilih truth kerena ia tahu orang-orang di sini adalah orang gila, jadi ia lebih baik memilih dare.

"Uhm, belikan kami semua ice cream, tapi kau harus pergi bersama Jani," ucap Jae seperti merencanakan sesuatu.

"Aku akan pergi sendiri Jae," jawab Brian menolaknya, karena ia merasa tidak enak dengan Jani.

"No, its your dare Brian," ucap Jae tetap bersikeras.

"Jani are you okay going to market with me?" tanya Brian kepada Jani untuk memastikan jika wanita itu tidak keberatan pergi bersamanya.

"No problem Brian," jawab Jani, dan diam-diam Brian bernafas lega karena Jani tidak menolaknya.

Brian dan Jani sedang dalam perjalanan menuju toserba untuk membeli ice cream, selama di perjalanan mereka terlihat sangat akrab tidak seperti sebelum-belumnya yang terasa canggung, keduanya sangat menikmati perjalanan mereka.

"Jan, sana deh berdiri di sana nanti aku fotoin pemandangannya bagus tuh buat foto. Kenang-kenangan nih," Brian langsung mengeluarkan Handphone dari sakunya untuk memfoto Jani.

"Gak ah ngapain sih, malu tau!" Balas Jani dengan jengkel.

"Its okay Jani, ayo bergaya," Brian telah mengarahkan handphonenya untuk memotret Jani, akhirnya Jani pun menuruti Brian dan berpose di depan pria itu.

"Sini gantian aku yang fotoin kamu," Jani pun berinisiatif untuk memfoto Brian, ia mengeluarkan handphonenya dari saku dan mengarahkan kamera kearah Brian.

"Okay," Brian langsung memasang gaya dengan senyum ala pria penggait wanita.

Mereka berdua menikmati setiap inci langkah kaki yang membawa keduanya dalam perjalanan menuju toserba. Mereka tertawa bersama, berbincang bersama, saling melemparkan candaan satu sama lain.

Jani berharap bahwa perasaannya ini hanya akan bertahan di kata "teman" ia sadar bahwa dirinya tidak boleh berharap lebih. Namun Brian berharap bahwa ini adalah awal mula ia dan Jani bisa lebih dekat satu sama lain. Brian menantikan masa-masa ini dimana ia dan Jani dapat tertawa bebas bersama tanpa rasa canggung antara satu dan lainnya.

***

The Black Rose; YoungK Day6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang