Bagian 1 - Selamat Tinggal

2.8K 162 3
                                    

Bagian  1
Selamat Tinggal

Oktober 1919

“Dasar, memang tidak tahu di untung kamu!” Bapak mengumpat setelah melayangkan tamparan keras ke pipi kananku. Tubuh ini hampir terjatuh saat menerima tamparannya. Kurasakan sakit pada pipi saat simbok datang membantu untuk berdiri lalu memeluk tubuh ini.

“Sudah Pak, jangan diteruskan lagi. Kasihan Moenah ... ” pinta ibu dengan lirih. Isak tangis mulai keluar dari perempuan yang paling kukasihi itu.

“Kalau kita tidak menyerahkan Moenah lalu kita mau makan apa, Bu?” Kedua mata bapak melotot ke arah kami.

“Besok, pokoknya kamu harus berangkat ke rumah tuan londho. Bapak tidak mau tahu ! Awas kalau kamu macam-macam!” Telunjuk tangannya mengarah kepadaku. Bapak pergi berlalu dari hadapan kami berdua dengan wajah memerah.

Aku menangis sesenggukan di pelukan simbok. Kulihat Kasman yang mengenakan sarung dan bertelanjang dada serta Minah yang memakai kemben  mengintip dari luar pintu rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Mereka berdua sepertinya tak berani masuk, bisa jadi karena takut begitu mendengar suara bapak yang keras.

“Sabar, ya, Cah Ayu, Ini semua demi kebaikanmu,” ucap simbok berusaha menenangkan sambil mengelus ujung kepalaku.

“Kebaikan apa, Mbok? Bapak tega menjual anak perempuannya demi uang!”

“Besok. Nasibmu akan berubah. Hidupmu bisa lebih baik lagi dan kamu juga membantu keluarga ini agar bisa tetap makan saat kamu sudah bersama dengan Tuan Londho.”

Simbok menyeka wajahku dari air mata yang sedari tadi deras membasahi pipi. Kami bertukar pandang tanpa bersuara. Aku merasa kali ini tatapan simbok membawa pesan tersirat. Perempuan paruh baya itu lalu meninggalkanku seorang diri.
Aku termenung. Besok, nasibku akan merubah. Pastinya tak ada lagi kemiskinan yang biasa membelit kehidupan kami sehari-hari. Rumah yang hanya berlapis dinding dari anyaman bambu akan berganti dengan rumah besar dengan pilar-pilarnya yang kokoh. Halaman luas akan menjadi pemandangan sehari-hari. Sesuatu yang tak pernah kumiliki  seperti sekarang. Kebaya lusuh berganti dengan kain halus nan indah.  Di lain pihak, keluarga ini juga akan menerima sejumlah uang sebagai ganti diri ini. Seharusnya aku  bahagia  jalan keluar yang terlihat menguntungkan ini. Namun, entah kenapa hati ini justru merasa kosong.

Aku melangkah keluar rumah. Hari ini adalah hari terakhir berada di kampung ini. Kasman dan Minah tampak bermain engklek  bersama teman-temannya. Aku ingin menghampiri mereka berdua tetapi kuurungkan.  “Mbak Moenah .... “ Ketika langkah ini mulai menjauh, terdengar suara Kasman memanggil.

Kasman setengah berlari menghampiriku dengan Minah yang mengekor di belakangnya. Aku tersenyum dan berjongkok di hadapan mereka. Cukup lama kuamati  wajah Kasman dan Minah. “Besok Mbak mau pergi. Kalian yang rukun dan jaga simbok, ya?” ucapku kepada mereka berdua.

“Mbak Moenah mau pergi kemana?,” tanya Kasman.

“Mbak mau pergi jauh, ndak tinggal disini lagi. Mbak juga ndak akan kembali,” jawabku sambil memeluk Minah.

Kasman mengangguk tapi tidak dengan Minah yang sejak tadi memelukku dengan erat. Tak ada air mata yang keluar dari mereka berdua. Berbeda denganku yang  berusaha menahan air mata ini agar tidak mengalir .

“Moenah!”

Aku mendongak saat seorang lelaki berkulit sawo matang mengenakan surjan serta destar di kepalanya berdiri tepat di hadapanku. Sejujurnya, aku tak menyangka jika Zainal datang kemari. Lelaki ini tinggal di desa sebelah.

“Kasman dan Minah, kalian kembali ke sana, ya ... ” pintaku kepada mereka berdua dengan telunjuk mengarah kepada sekelompok anak yang sedang bermain engklek. Mereka mengangguk dan segera pergi.

“Aku besok mau ke kota dan tidak kembali lagi kemari,” jelasku kepadanya dengan pandangan ke arah lain.

“Memang kurang ajar bapakmu itu!” Tangan kanannya mengepal.

“Sudah, Nal. Ndak perlu berkata seperti itu. Aku sudah menerima nasibku,” ucapku sambil berlalu dari hadapannya.

“Moenah ... tunggu .... !” Tak kepedulikan teriakannya yang memanggil namaku.

Aku sudah pasrah, Nal.

Zainal, seorang buruh di perkebunan milik lelaki berkebangsaan Belanda. Ya, desaku adalah tempat perkebunan kopi. Hawa sejuk ditambah dengan kondisi tanah yang sesuai membuat tanaman kopi tumbuh subur disini. Aku mengenalnya saat  turut menjadi buruh pemetik kopi di perkebunan yang sama.

Zainal pernah berkata kepadaku jika kopi hasil perkebunan desa kami merupakan salah satu yang terbaik. “Kopi ini yang paling baik disini. Ini jenis Robusta.” Lelaki itu berucap ketika kami bersama–sama sedang memetik buah kopi saat panen.

Di mataku, Zainal adalah orang pintar. Teramat pintar untuk ukuran penduduk pribumi yang miskin. Seringkali lelaki itu menjelaskan sesuatu kepadaku ketika  tidak memahami sesuatu. Entah dari mana dia memperoleh kepandaian itu. Padahal Zainal sama sekali tak pernah bersekolah. Namun yang jelas, aku merasa kagum kepadanya. Selain pintar, dia juga baik hati.

Beberapa waktu silam, Zainal pernah meminta kepada bapak agar mengijinkannya menikahiku. Namun, bapak menolak. Bapak pernah bilang, kehidupan keluarga kami tidak akan pernah membaik jika aku menikah dengan buruh perkebunan yang miskin. Aku tidak menangis kala itu karena berpikir jika suatu saat kelak kami berdua masih bisa bersama. Namun ternyata diri ini salah.

****

“Cepat sedikit Moenah, ini sudah ada yaang menunggu!”

Aku segera mengemasi pakaian yang hanya berupa lima pasang kebaya beserta kain jarit. Kumasukkan ke dalam secarik kain persegi empat dan membungkusnya. Aku tergopoh-gopoh melangkah menuju ke tempat bapak berada, luar rumah.

“Ayo cepat. Ikut dengannya!” perintah Bapak.

Kuamati seorang lelaki berbadan besar dengan kumis hitam yang menghiasi wajahnya. Rautnya terlihat bengis  dengan sebuah golok yang terselip di pinggang. Aku berpikir jika pria ini adalah jongos dari tuan londho. Kulihat, bapak menerima banyak lembaran uang darinya.

“Terima kasih, Hisyam.” Bapak tersenyum senang dengan segepok uang berada di tangan kanan.

Aku bersiap menaiki delman yang akan menuju ke stasiun kereta api. Kupeluk Kasman dan Minah terlebih dahulu sebelum berpamitan kepada bapak dan simbok. Simbok masih mengenggam erat tangan ini sebelum dipisahkan bapak. Jongos  tuan londho memaksa diri segera menaiki delman.

“Moen ... Moenah ....” Simbok mulai menangis.

Seketika, aku berlari ke arah simbok karena tak tega mendengar tangisannya. Kupeluk erat tubuh kurusnya. Namun jongos tuan londho segera memisahkan kami berdua dibantu oleh bapak. Sekuat tenaga diri ini berusaha bertahan tetapi sia-sia. Hisyam menyeretku menuju delman.

Lelaki ini bahkan hampir saja membuatku terjatuh saat mendorong paksa agar segera menaiki delman. Simbok semakin meraung-raung setelah perlakuan kasar Hisyam kepadaku. Wanita itu berusaha lari ke arah delman tetapi dihalangi bapak. Kusir segera memcambuk kuda bewarna kecokelatan yang akan membawa kami menuju stasiun kereta api. Delman mulai bergerak perlahan lalu berlari cepat.

Kupandangi anggota keluarga yang berdiri berjejer di depan rumah. Isak tangis pecah kala satu per satu sosok mereka  makin lama makin menghilang wujudnya seiiring gerakan kuda yang semakin menjauh dari rumah. Kepala ini hanya bisa tertunduk memikirkan perpisahan yang baru saja terjadi.

Delman tiba di stasiun. Tempat ini sangat sederhana dan tidak ada hal istimewa di dalamnya. Sebuah stasiun kecil yang hanya ramai pada saat-saat tertentu saja. Zainal pernah bercerita, tempat ini dibangun sebagai sarana transportasi penduduk yang hendak ke kota. Namun, tak jarang pula kereta api yang berhenti digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan kopi terutama pada musim panen.

“Ayo, lekas naik!” Hisyam memerintahku.

Aku duduk dekat jendela supaya kepala ini bisa bersandar. Sepanjang perjalanan, mata ini memandangi hamparan tanah yang ditanami padi. Aku, Moenah si perempuan pribumi miskin. Hari ini menjadi lembaran baru kehidupanku—menjadi gundik tuan londho.







Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang