Jangan lupa vote & komennya ....
Sesosok tubuh terbaring di depanku. Rambut acak-acakan dengan pakaian yang hampir berantakan. Kulepaskan pantofel yang membungkus kedua kakinya. Malam ini, tuan besar menjelma menjadi seorang pemabuk. Tuan besar memang penyuka anggur. Seringkali dia minum anggur tapi tidak sampai membuatnya mabuk. Namun malam ini, berbeda.
Mataku hampir terpejam saat suara ketukan terdengar dari luar kamar. Kulihat Hisyam berdiri dengan membopong tuan besar sekuat tenaga. Postur tubuh tuan besar yang tinggi membuat jongos itu tampak kesulitan membawanya. Kubiarkan Hisyam memasuki tempat dimana kami memadu kasih.
“Tuan besar mabuk berat, Nyai,” jelasnya sebelum pergi dari kamar.
Kupandangi lelaki yang kini menjadi teman hidupku meski tanpa ikatan sah. Seseorang yang telah menggantikan tempat Zainal di sudut hati ini. Kubelai lembut pipinya. Meskipun kerutan mulai muncul di beberapa bagian wajahnya serta uban mulai menghiasi rambutnya tetapi tidak melunturkan ketampanan seorang Willem van Der Kruuk.Tuan besar terlihat tak berdaya sama sekali. Lelaki ini sepertinya sungguh tersakiti karena kata-kata berbisa yang kuucapkan di ruang tengah tadi. Aku telah menyakitinya! Sesuatu yang selama ini tak pernah tuan besar lakukan kepada diri ini. Kudekatkan wajah ini kepadanya hingga tak berjarak.
Aku mencintaimu, Tuan Besar. Maafkan aku.
Sebuah kecupan kudaratkan di bibirnya. Aku hempaskan tubuh ini di samping lelaki yang sedang tertidur pulas. Jemarinya kugenggam erat seakan-akan tak ingin berpisah darinya. Sepasang netraku memandang langit kamar cukup lama hingga sedikit demi sedikit mata ini mulai meredup.
***
Kumainkan sendok dan garpu di atas piring sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Suasana pagi di meja makan masih terasa sunyi meski tiga orang duduk di kursi masing-masing dengan sepiring makanan. Tuan besar masih membisu. Sesekali aku mencuri pandang kepadanya. Madame Anne pun sepertinya tak berminat untuk bersuara.
“Jika kamu berniat untuk menggugurkan calon janin di dalam perutmu, saya tidak akan melarang.” Suara tuan besar memecah keheningan diantara kami bertiga.
Tuan besar terlihat tenang saat mengunyah makanan. Pandanganku kemudian beralih ke Madame Anne yang duduk tepat di hadapanku. Kami saling berpandangan sebentar.
“Kamu bisa menemui seorang dukun beranak untuk membantumu menghilangkan janin itu,” jelasnya dengan wajah dingin.
Kata-kata tuan besar semakin menghujam hati ini. Rasanya diri ini ingin membantah perkataannya tetapi kuurungkan. Tindakan balasan hanya akan menambah masalah dan makin menyakitinya. Aku masih menghormatinya.
“Saya permisi, Tuan dan Madame,” pamitku undur diri dari meja makan.
Aku berjalan keluar menuju halaman depan. Ada setitik luka yang muncul di relung hati ini. Awalnya, luka itu kecil tetapi makin menganga ketika untuk kedua kalinya tuan besar berbicara. “Nyai, mau ke mana?” Suara Hisyam membangunkanku dari lamunan. Lelaki itu tergopoh-gopoh menghampiriku.“Ndak ke mana-mana cuma ingin jalan-jalan saja, Syam?” Kulanjutkan langkahku keluar dari pintu gerbang.
“Jangan kabur lagi, Nyai!”
Kubelokkan kakiku ke arah kiri. Hari masih terbilang pagi. Jalanan pun masih sepi. Para penghuni rumah sepertinya masih beraktivitas di meja makan seperti yang dilakukan tuan besar saat ini. Di luar rumah hanya tampak tukang kebun yang mulai bekerja merapikan tanaman-tanaman milik tuannya.
Mataku memandang jauh ke depan. Aku berhenti di depan rumah dengan sebuah patung kecil yang berada di tengah-tengah bunga tapak dara dan kembang sepatu. Pandanganku terpaku kepada sesosok perempuan yang berdiri di sudut pagar sebuah rumah. Ia sedang berbicara dengan lelaki yang berada di dalam halaman. Pagar sebatas leher menjadi penghalang di antara mereka berdua.
“Sudah dibilang ndak usah ke sini lagi!” ucap lelaki tersebut.
“Tapi aku cuman pengen lihat anakku saja ... ” Perempuan itu berkata dengan nada memelas.
“Sudah pergi sana! Kalo tuan tahu bisa marah nanti. Lagian, tuan juga sebentar lagi mau balik ke Belanda sama nyonya londho juga,” usir lelaki yang memegang sabit di tangan kanannya lalu meninggalkan perempuan itu sendiri.
Wajah perempuan itu terlihat sedih dan pasrah saat membalikkan badan dan berjalan ke arahku. Langkahnya semakin mendekatiku. Kuperhatikan, kebaya putih yang melekat di tubuhnya terlihat lusuh dan kumal. Mungkin sudah berhari-hari dipakainya sangat kontras dengan kebaya yang kukenakan pagi ini. Sarung batik di atas mata kaki menampakkan kulit kakinya. Putih. Namun tertutupi oleh debu yang menempel. Tiada alas kaki yang melindungi kaki putih perempuan tersebut.
“Tunggu!” panggilku kepada wanita yang berjalan melewatiku baru saja.
Aku menghampirinya. Kupandangi perempuan di depanku. Parasnya cantik dengan hidung mancung. Rambut alis memanjang dan bibir tipis kemerahan. Mahakarya sempurna dari Tuhan ini terpahat di wajah lonjongnya. Meskipun penampilannya pagi ini sangat kacau.“Kamu ndak apa-apa?”
Ia mengangguk. Kedua bola mata cokelatnya lalu menatapku dari ujung atas sampai bawah lalu tersenyum.
“Kamu seorang nyai?” tanyanya.
“Benar. Rumah tuanku di sana,” terangku sambil mengarahkan telunjuk ke sebuah rumah.
Perempuan bertubuh tinggi ramping itu lalu pergi. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya meski aku sudah berusaha untuk bersikap sopan. Aku berjalan cepat menyusulnya.
“Tunggu! Tunggu dulu!” teriakku.
“Ada apa lagi?” ujarnya ketus.
Sepertinya perempuan ini mulai kesal kepadaku. Nada suaranya sedikit meninggi.“Apa kamu diusir sama tuanmu?” Ia hanya diam saja. Matanya mulai berair.
“Anak saya juga diambil. Saya disuruh pergi sama tuan setelah melahirkan.” Air matanya mulai menetes.
Ya Gusti apa nanti nasibku akan sama seperti dia? Kulirik sekilas perutku.
Pikiranku berkecamuk. Berbagai kemungkinan terburuk menghinggapi hati ini. Aku tak ingin bernasib sama dengannya. Aku sama sepertinya seorang nyai. Kami sama-sama memiliki tuan. Bedanya, diri ini masih bertuan sedangkan perempuan ini, tidak.Wanita ini adalah cerminku sebagai nyai. Kini nasib buruk menimpanya. Suatu hal yang bisa jadi kualami di kemudian hari. Kalaupun pada akhirnya kelak tuan akan mengusir setidaknya aku tidak akan kehilangan anak dan mengalami penderitaan sepertinya. Bagaimana bisa seseorang memisahkan seorang ibu dan anak?
“Moenah! Kenapa kamu berdiri sendirian di sini?” Madame Anne tiba-tiba muncul di depanku. Kucari sosok perempuan tadi. Ternyata wanita itu telah berjalan jauh tanpa kusadari saat aku sibuk dengan pikiranku sendiri.
“Mari kita pulang, Moenah. Saya takut Tuan van Der Kruuk nanti semakin marah,” ucapnya. Kuturuti permintaannya.
Kendaraan yang biasa digunakan tuan besar masih ada di halaman depan. Itu artinya lelaki Belanda tersebut belum pergi. Tuan besar duduk di ruang depan. Aku merasa seperti akan diadili. Madame Anne dan Hisyam juga berada di sini.
“Hisyam, kamu antar Moenah ke dukun beranak. Cari dukun yang bisa menggugurkan janin di perutnya!” perintah tuan besar kepada jongosnya.
Hisyam tampak terkejut dengan ucapan majikannya. Jongos itu menoleh kepadaku. “Ba-ik,Tuan Besar. Nyai, mari ikut saya.”“Tunggu Tuan Willem, apa anda yakin dengan perkataan anda?” Madame Anne mengemukakan pendapatnya.
“Bukan saya yang meminta, Nona Colston. Tapi perempuan itu!” Jarinya menunjuk kepadaku.
Tiba-tiba, hatiku merasa perih ketika tuan besar menunjuk diri ini tanpa menyebut namaku. Ini pertama kalinya tuan besar bersikap tak acuh kepadaku. Tiba-tiba, aku merasa kehilangan sosoknya yang hangat dan penyayang.
“Mari, Nyai.” Hisyam mengingatkanku kembali. Sebelum beranjak, mataku memandang tuan besar tengah duduk dengan menyilangkan kaki . Kedua pasang mata kami bertemu. Namun, dia segera membuang muka. Aku mengambil napas panjang. Kuikuti lelaki berkulit gelap itu dari belakang.
Aku tidak mau bernasib sama dengan nyai terdahulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)
Historical FictionMoenah, gadis pribumi miskin dijual keluarganya untuk menjadi gundik Willem van Der Kruuk. Status barunya sebagai seorang nyai, membawanya menjalani kehidupan yang berwarna. Pertemuan dengan Jacobus Kruuk menjadi awal perseteruannya dengan putra san...