Aku menggeliat di ranjang. Perlahan mata ini mulai membuka. Baju ala wanita Eropa yang kukenakan kini telah berganti dengan sebuah baju warna putih tipis. Kulihat sekeliling tempat tidur. Ini bukan kamarku.
Sesosok wanita sedang duduk di salah satu sudut ruangan dengan tangan memegang sebuah buku. Secangkir minuman di atas meja yang berada di sampingnya. “Madame Anne... ” Kupanggil namanya. Seketika wanita itu menutup buku dan menghampiriku.
“Puji Tuhan, syukurlah kamu sudah sadar. Apa kamu sudah baik-baik saja?” tanyanya.
Aku menggeleng. Kepala ini masih terasa pening. Kulihat Madame Anne mengambil sebuah baskom dari bawah tempat tidur.
“Untuk a-pa, Ma-”
Hueek ... hueek ... hueek ....
Cairan kental tiba-tiba keluar dari dalam mulut. Madame Anne dengan sigap memberikan baskom kosong. Kubersihkan bibir dan sekitarnya dari sisa-sisa muntahan dengan saputangan yang diberikan Madame Anne baru saja.
“Ya Tuhan, tubuhmu memang benar-benar tidak bisa menerima minuman beralkohol.”
Perempuan itu lalu mengambil segelas air putih untukku. “Terima kasih, Madame.”
“Sepertinya kondisimu belum terlalu baik, Moenah. Lebih baik kamu beristirahat dulu.”
“Bagaimana dengan belajarnya?” tanyaku kepadanya.
Madame Anne memandangku dengan kedua tangan berkacak pinggang. Matanya mendelik.
“Bagaimana kamu masih bisa memikirkan belajar jika kondisimu sendiri belum sehat?” tegasnya. Perempuan berkacamata itu membalikkan badannya menuju pintu. Meninggalkan aku sendiri di dalam kamar yang ditempatinya.
Aku kembali berbaring di kasur. Mencoba mengingat-ingat kembali apa yang telah menimpaku di gedung Societeit Concordia semalam.
***
Lampu-lampu kristal besar tergantung di langit-langit gedung Societeit Concordia. Tiang-tiang kokoh menjadi penyangganya. Deretan kursi dan meja dari kayu mengisi bagian dalam Concordia. Lantainya bermarmer dengan cermin-cermin raksasa menghiasi dinding-dinding putih. Suara musik dari gramofon mengalun merdu memenuhi seluruh ruangan.
Para wanita serta lelaki Eropa lalu lalang dengan busana terbaik mereka. Di salah sudut ruangan, sekelompok pengunjung berdansa dengan riang. Beberapa orang Tionghoa dan priyayi pribumi terlihat sedang berbincang mengellingi sebuah meja bundar. Di sudut lain, tiga pria berjas putih sedang menyodok bola pada sebuah meja persegi.
Aku takjub dengan segala kemewahan yang ada di sini. Mulutku tak berhenti menganga dengan segala keindahan dan isi yang ada di dalamnya. Kuikuti langkah Madame Anne menuju ke sebuah ruangan. Setengah berbisik, wanita berambut ikal ini memberitahu tentang tempat yang kami datangi.
“Di sinilah mereka menghabiskan waktu untuk bersenang-senang, Moenah,” terangnya.
“Apa semua orang bisa ke sini, Madame?”
Madame Anne memandangiku. “Pertanyaan bagus, Moenah. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke sini selain orang kulit putih. Kamu lihat disana?” Wanita ini menunjuk ke meja yang berisi orang Tionghoa dan pribumi yang kulihat tadi.
“Mereka pasti dari kalangan berada. Lihat pakaian mereka,” jelasnya. Aku menyetujui ucapan Madame Anne. Pakaian tradisional yang mereka kenakan terlihat elegan dan mewah.
Madame Anne lalu mengajak ke sebuah meja kosong. Kuperhatikan orang-orang yang berada di sekeliling. Wanita dan pria berkulit putih lebih mendominasi kehadiran pengunjung di sini. Netraku tanpa sengaja menangkap sosok wanita yang kulihat saat masih berada di luar gedung. Wanita Tionghoa itu tampak berbicara dengan pria berambut pirang di sudut ruangan. Masing-masing tangan mereka memegang minuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)
Historical FictionMoenah, gadis pribumi miskin dijual keluarganya untuk menjadi gundik Willem van Der Kruuk. Status barunya sebagai seorang nyai, membawanya menjalani kehidupan yang berwarna. Pertemuan dengan Jacobus Kruuk menjadi awal perseteruannya dengan putra san...