JANGAN LUPA VOTE & KOMEN
Agustus 1920
“Bagaimana kehamilanmu, Moenah?” Tuan Besar van Der Kruuk bertanya kepadaku.
“Baik, Tuan Besar. Ndak ada masalah,” jawabku. Kulihat lelaki itu memandang ke langit rumah dan memegang dagunya. Sepertinya sedang berpikir.
“Bagus kalau begitu. Seminggu lagi saya akan ke Surabaya. Ada urusan di sana. Sebenarnya saya ingin mengajakmu.”
“Surabaya?” tanyaku dengan wajah terperangah. Tuan Besar mengangguk.
Surabaya. Sebuah kota yang selama ini hanya dapat kubayangkan saja. Beberapa kali kudengar namanya saja. Cerita tentang kota itu justru berasal dari Madame Anne. Menurutnya, Surabaya adalah kota besar, lebih besar dari kota ini. Jika kota ini memiliki pegunungan yang mengelilinginya maka Surabaya mempunyai lautan.
Aku sangat antusias dengan ajakan tuan besar. “Saya mau, Tuan Besar,” jawabku. Hati ini sangat senang saat tuan besar bermaksud mengajakku.“Saya senang jika kamu merasa senang, Moenah.” Tuan besar membelai rambut hitamku yang disanggul.
Sejak aku membatalkan untuk tidak menggugurkan janin di dalam perut, tuan besar semakin peduli. Pria Belanda itu selalu berusaha menyenangkan diri ini. Apapun akan dilakukannya untuk memenuhi keinginanku. Meskipun begitu, aku tak mau aji mumpung memanfaatkan kebaikannya.
Aku pun turut bahagia melihat lelaki yang kucintai itu selalu menampakkan wajah semringah pada parasnya yang rupawan. Meski terkadang muncul rasa khawatir di hati. Janin yang kukandung saat ini adalah anak kedua tuan besar. Itu artinya akan menjadi adik tiri dari Jacobus Kuurk. Sejak kebenaran Tuan Muda Jacob terungkap, tuan besar tidak pernah lagi berkisah tentang anak tertuanya itu.
Hari demi hari kuhitung sejak tuan besar berencana mengajak ke Surabaya. Aku selalu bertanya kepadanya tentang kota itu. Tuan Besar van Der Kruuk bahkan menyamakanku dengan anak kecil yang menagih hadiah yang dijanjikan. Jika lelaki itu berkata seperti itu aku hanya bisa merajuk manja kepadanya.Hari ini kukenakan kebaya putih berenda. Rambut tersanggul rapi dengan tusuk konde perak yang menghiasi bagian atas. Sehelai sewek bewarna cerah dengan motif rangkaian bunga tulip serta hiasan burung menjadi pilihanku. Sebuah kalung emas menjadi pemanis di bagian leher.
Gerak delman melambat memasuki halaman stasiun kereta api. Hisyam menurunkan dua buah koper. Kepergian kami ke Surabaya juga diiringi olehnya. Tuan besar berencana untuk menginap di kediaman seorang sahabat. Tanganku melingkar di lengannya. Kami bertiga memasuki stasiun.Suasana stasiun masih sama seperti saat aku mengantar Madame Anne lalu. Orang pribumi masih lalu lalang dengan kesibukan mereka masing-masing. Sebuah lokomotif hitam berada tepat di depanku. Seorang lelaki bertubuh tinggi mengenakan busana putih dengan topi di kepalanya melintas lalu masuk ke bagian gerbong paling depan. Beberapa orang Eropa mulai memasuki gerbong depan. Mereka disambut seorang pribumi berpakaian surjan.
Kuikuti langkah tuan besar masuk ke dalam gerbong utama. Namun, sebelum kakiku melangkah jauh, petugas pribumi yang berjaga di depan pintu gerbong menegurku.
“Maaf Nyai, gerbong ini khusus untuk kelas satu,” ucapnya dengan nada sopan tetapi tegas.
“Ini khusus untuk Meneer.” Jempolnya menunjuk ke arah tuan besar.
Aku menoleh ke samping, tuan besar menampakkan wajah tak senang.
“Tapi perempuan ini bersama saya!” Tuan Besar van Der Kruuk membantah perkataan petugas tersebut. Namun, lelaki pribumi itu tetap bergeming.Melihat gelagat tuan besar yang tampak tidak puas, aku berusaha menenangkannya karena tak ingin menarik perhatian banyak orang. “Ndak masalah, Tuan Besar. Saya akan ke gerbong belakang saja. Di sana masih ada Hisyam. Tuan Besar ndak perlu khawatir,” terangku sambil mengelus-elus lengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)
Historical FictionMoenah, gadis pribumi miskin dijual keluarganya untuk menjadi gundik Willem van Der Kruuk. Status barunya sebagai seorang nyai, membawanya menjalani kehidupan yang berwarna. Pertemuan dengan Jacobus Kruuk menjadi awal perseteruannya dengan putra san...