Oktober 1920
Sepasang mataku terpusat pada dua lembar kertas yang ada di tangan. Ya, sebuah surat yang dikirim Tuan Harald Eginhardt untuk Tuan Besar van Der Kruuk. Kutemukan tak sengaja surat ini ketika membuka laci meja di dalam kamar. Lembar pertama telah terbaca, tidak ada yang istimewa hanya mengingatkan kembali agar tuan besar segera melengkapi dokumen perkebunan. Seketika hati ini berdesir saat namaku terukir dengan tinta di kertas ini. Ya, meski hanya sebuah titipan salam.
Ah, ada apa denganku? Mengapa aku jadi begini?
Kuremas surat Tuan Harald dan meletakkannya begitu saja di atas meja serambi belakang. Aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan beristirahat. Memasuki enam bulan masa hamil, lelah dan letih seringkali membuat diri ini kepayahan. Apalagi dengan perut yang semakin membuncit menambah beban ketika melakukan sesuatu.
Dentang jam dinding berbunyi saat aku dan tuan besar makan malam. Malam ini, tak seperti biasanya, tuan besar mengajakku makan malam kurang dari jam delapan. “Tuan, biasanya kita makan jam delapan tepat mengapa malam ini lebih awal?” tanyaku.
“Oh ... setelah ini Tuan Speelman akan berkunjung. Saya ada perlu,” tuturnya. Kedua tangannya sibuk dengan garpu dan pisau di atas piring.
“Tuan Nigel Speelman?” Aku menatap tuan besar dengan heran. Nigel Speelman seorang pengacara tua di kota ini. Aku mengetahuinya karena lelaki tua itu pernah datang kemari sebelumnya.
“Ada beberapa urusan terkait perkebunan di Pakis. Awalnya saya akan meminta Harald untuk mengurusinya, tetapi tidak bisa karena dia harus pergi ke Belanda.”
“Oh iya, ngomong-ngomong tentang Harald, dia menitipkan salam untukmu,” tuan besar menambahkan.
Seketika kutegakkan kepala dan melihat ke arah tuan besar yang tampak sibuk dengan piring yang berada di depannya. Aku menggeleng. Kuurungkan bibir ini saat hendak membalas ucapan tuan besar terkait Tuan Halard tentangku.
“Kamu tahu, Moenah. Harald itu punya keunikan. Dia memiliki kecenderungan terhadap perempuan pribumi ketimbang wanita Eropa. Aneh, bukan?”
“Mengapa begitu?” ucapku. Akhirnya bibir ini tak bisa menahan lagi untuk berucap tentang adovakat itu.
Tuan besar menggeleng disertai senyum mengembang dari wajahnya. “Harald hanya bilang jika perempuan berwarna lebih menarik. Apalagi jika perempuan itu pandai. Tapi saya tahu, dia hanya bercanda. Entahlah, kadang-kadang saya merasa jika lebih mudah memahami Harald daripada Jacob." Tuan besar menghela napas panjang disertai raut wajah sedih.
Kugenggam erat tangannya. Baru kali ini tuan besar menyebut nama Jacob kembali. Tiap kali nama itu disebut, kesedihan acapkali menghiasi parasnya.***
Minggu pagi. Kuputuskan untuk menikmati bunga-bunga yang bermekaran di halaman depan sembari menunggu kedatangan tuan besar dari gereja. Aku pun melihat pekerjaan tukang kebun di halaman depan. Noto, tukang kebun Tuan Besar van Der Kruuk memang lihai. Berbagai tanaman yang ada, ditata dan dibentuk seindah mungkin. Aku terkagum-kagum dengan hasil pekerjaannya. Selain kedua tangannya lihai berurusan dengan tanaman, Noto juga melakukan pekerjaan rumah tangga lain seperti membersihkan lantai dan menggosok kamar mandi.
“Nyai ...” Suara berat milik Hisyam sang jongos terdengar dari depan. Kualihkan kedua netra ini dari tukang kebun kepadanya.
Namun, perhatianku langsung tertuju kepada kertas yang berada di tangannya.
“Saya menemukan ini kemarin sore di serambi belakang,” terangnya sambil mengangkat kertas yang dibawanya.
Kuamati dua kertas yang bentuknya tak beraturan lagi. Seketika aku tercengang. Sungguh tak menyangka jika lelaki ini akan mengambilnya saat kugeletakkan saja di atas meja. Namun, aku berusaha bersikap setenang mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)
Historical FictionMoenah, gadis pribumi miskin dijual keluarganya untuk menjadi gundik Willem van Der Kruuk. Status barunya sebagai seorang nyai, membawanya menjalani kehidupan yang berwarna. Pertemuan dengan Jacobus Kruuk menjadi awal perseteruannya dengan putra san...