Bagian 13 - Kabar Bahagia

1K 103 6
                                    

Kurapikan kebaya putih berenda yang melekat di tubuh. Sesekali mataku melirik  Bik Sina melalui cermin yang berada di depan. Wanita paruh baya itu sedang sibuk membersihkan lemari. Kedua tangan yang mulai berkeriput itu dengan cekatan mengeluarkan beberapa baju dari lemari dan membersihkan bagian dalamnya.

“Bik Sina, apa sudah tahu kalau Tuan Muda Jacob ternyata sudah berada di Hindia Belanda?”  tanyaku dengan kedua tangan berada di atas kepala untuk menyanggul rambut.

“Benarkah, Nyai?”tanyanya dengan wajah menghadapku.

“Saya juga baru tahu, Bik. Tuan besar yang bilang.”

“Syukurlah, kalau ndak ke sini ... ” Bik Sina meletakkan telapak tangan kanan di dada.

Kulihat ada pancaran kelegaan di wajah wanita tersebut. Aku mendekatinya.

“Kok malah senang Bik. Inikan rumah tuan muda juga?” Perempuan Jawa itu justru menunjukkan wajah cemberut. Terlihat lucu.

“Saya ndak suka Tuan Muda Jacob, Nyai. Orangnya sombong,” celetuknya.

Aku teringat dengan tumpukan surat yang kutemukan di kotak kayu beberapa hari lalu. Betapa Jacob sangat tidak menyukai orang berwarna. Bagaimana dia menyalahkan tuan besar atas darah campuran yang dimilikinya.

“Lagipula, Tuan Muda Jacob itu su-“ Aku mendelik menunggu Bik Sina meneruskan kata-katanya. Namun, wanita berkebaya cokelat itu tampak ragu-ragu.

“Tuan Muda Jacob kenapa, Bik?” tanyaku di depannya.

“Ehm .... ” Tiba-tiba, perempuan itu memajukan tubuhnya kepadaku. Sebuah bisikan terdengar di telingaku.
Mulutku menganga. Apa yang baru saja dibisikkannya membuat diri ini tak percaya.

“Makanya, tuan muda ndak betah tinggal di sini. Sukanya di Batavia soalnya di sanakan banyak,” tambahnya.

“Terus, apa Bik Sina juga tahu tentang ibunya Tuan Muda Jacob?” Bik Sina menggeleng.

“Saya takut Bik .... ” Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.

“Takut kenapa?” tanya Bik Sina dengan menatapku heran.

“Tuan besar akan mengusir saya suatu hari nanti ... ” ucapku lirih.

“Hush ... ndak usah berpikiran itu dulu,” timpalnya meyakinkanku. Perempuan itu kemudian melanjutkan pekerjaannya kembali.

***

Kupandangi potret berbingkai yang baru saja diberikan Hisyam kepadaku. Terpampang wajahku beserta Tuan Besar van Der Kuurk. Seminggu silam, tuan besar mengajakku  ke toko milik tukang foto yang berada di Kayutangan. Tuan besar mengajak untuk berfoto berdua. Pertama kalinya aku difoto. Kami duduk berdampingan agak lama hingga sebuah kilatan cahaya dari benda yang dinamakan kamera keluar.

Mungkin inilah satu-satunya benda yang akan kubawa kelak jika suatu hari nanti tuanku mengusirku. Tinggal bersamanya selama beberapa bulan sedikit demi sedikit telah memunculkan sebuah perasaan aneh di hati. Ya, aku mulai mencintai tuan besar. Kebaikan dan ketulusannya selama ini mampu meluluhkan hati ini. Sebuah rasa yang kupikir tak akan pernah muncul.

“Moenah, kenapa kamu senyum-senyum sendiri?” Suara Madame Anne membuyarkan lamunanku.

“Apa kamu baik-baik saja? Kamu tampak pucat” lanjutnya.

Aku hanya tersenyum menanggapi rentetan kata dari pengajarku itu. “Tentu Madame, saya baik-baik saja.”
Kugoyangkan kembali kursi santai yang berada di serambi belakang. Namun, jawaban yang kuberikan sepertinya tidak memuaskan Madame Anne. Disentuhnya dahiku dengan jari-jarinya.

Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang