Bagian 5 - Sang Nyai

1.2K 111 3
                                    

Desember 1919

Kucengkeram erat lengan tuan besar saat kendaraan beroda empat yang kami tumpangi bergoyang-goyang menyusuri jalan berbatu. Hari ini, lelaki Belanda ini mengajakku mengunjungi salah satu perkebunan tebu miliknya yang berada di Distrik Pakis. Pertama kalinya, aku keluar rumah mendampingi Tuan Besar van Der Kruuk sebagai nyainya.

"Kamu baik-baik saja, Moenah?"

"Saya baik, Tuan Besar. Ini pertama kali saya pergi ke daerah ini," ucapku. Tangan lelaki ini menyentuh punggung tanganku yang sedang mencengkeram lengannya.

Tuan Besar van Der Kruuk seorang pemilik perkebunan. Sepanjang perjalanan, tuan besar bercerita banyak kepadaku tentang perkebunannya. Beberapa tahun silam, Tuan van Der Kruuk memiliki banyak perkebunan kopi di daerah ini. Hasil perkebunan inilah yang membuatnya kaya. Berkat kekayaannya, tuan besar mampu membeli apa pun yang diinginkannya termasuk kendaraan bermesin yang kami tumpangi.

"Tetapi semuanya berakhir saat hama merusak tanaman kopi," terangnya dengan tatapan lurus ke depan.

"Tapi Tuan Besar masih mempunyai perkebunan tebu, bukan?"

"Memang, tapi tak sebanyak perkebunan kopi. Saya hanya mempunyai perkebunan tebu di Pakis saja," imbuhnya.

Mobil yang kami tumpangi mulai memasuki daerah perkebunan. Pemandangan kanan-kiri yang terlihat hanya berupa batang tebu yang menjulang tinggi. Beberapa buruh terlihat sedang menebangi tanaman tebu. Melihatnya, aku teringat dengan pekerjaanku dulu.

"Selamat datang, Tuan van Der Kruuk." Seorang lelaki berpakaian surjan dengan celana selutut menyambut kedatangan kami.

Hari ini, tuan besar tampak gagah dengan setelan baju demang dengan kancing warna keemasan .Sebuah helm hoed menjadi pelindung kepalanya dari terik matahari.

"Sebagian besar sudah di tebangi semua, Tuan, dan siap diangkut lori," lapor lelaki yang menyambut kami tadi.

"Bagus. Saya ingin melihat-lihat perkebunan dulu. Kamu juga ikut karena saya ingin berbicara dengan kamu." Tuan besar berlalu diikuti dengan lelaki itu.

Aku masih terpaku di dekat mobil. Kulihat dari jauh, tuan besar berhenti sebentar lalu berbicara kepada Hisyam yang membuntutinya di belakang. Setelah berbicara dengan tuan besar, Hisyam menghampiriku. "Disuruh tuan besar menunggu di gubuk." Tangan kanannya menunjuk ke sebuah gubuk kecil beratap rumbai. Aku mengangguk.

Ternyata lama juga.

Kuputuskan berjalan-jalan di sekitar perkebunan yang letaknya tak jauh dari sebuah desa. Mataku memandang sekelompok perempuan sedang duduk di atas tanah dengan banyak batang tebu berserakan di depannya. Posisi mereka membelakangiku.

Aku bermaksud mendekat saat kudengar suara berasal dari salah satu perempuan yang duduk di barisan paling belakang.

"Soetinah kemana kok ndak kelihatan, yo?" ucap perempuan berkebaya hitam dengan logat Jawa kental.

"Lho, belum tahu toh kalian ? Soetinah kan sudah diambil majikannya jadi nyai," jawab perempuan lain yang tengah mengambil batang tebu di hadapannya.

"Kasihan ya. Sudah tinggal bersama tapi ndak nikah. Dia juga harus melayani tuannya di kasur. Sudah kayak lonte saja."

"Maturnuwun ke Gusti Allah kita ndak jadi nyainya tuan londho jadi ndak berdosa. Seng penting buat hidup cari yang halal. Semoga saja Soetinah nantinya ndak diusir sama tuannya. Kalau diusir dan kembali ke sini, pasti sama penduduk ndak dibolehin, bikin malu" timpal perempuan yang mengenakan penutup kepala dari kain.

Kuseret kedua kakiku lalu membalikkan badan menjauhi mereka. Tanpa terasa, sepasang pipiku basah karena butiran bening yang keluar dari bola mata. Kuputuskan untuk menepi di pinggir perkebunan.

Ah, mengapa hatiku sesakit ini mendengar perkataan mereka? Walau apa yang kudengar memang benar adanya.

Kusandarkan kepala ke jendela mobil dengan kedua mata menutup kala perjalanan pulang menuju kediaman tuan besar. Sengaja kukatakan kepada tuan besar jika kepalaku terasa pusing. Ini pertama kalinya aku berbohong kepadanya. Tuan Besar van Der Kruuk menyuruhku untuk bersandar di bahunya namun aku menolak.

***

Bunyi jam dinding membuyarkan lamunanku. Kuambil kain batik yang tergeletak di lantai untuk menutupi tubuh polos ini lalu mengambil kebaya yang tersampir di balik pintu. Sesaat, kulihat tuan besar tampak pulas tertidur setelah merengkuh nikmatnya malam bersamaku. Pintu kamar kubuka pelan-pelan agar teman ranjangku itu tidak terganggu.

Suasana bagian dalam rumah gelap. Hanya serambi belakang dan depan yang masih memancarkan cahaya lampu. Aku memilih untuk menuju bagian belakang. Sebuah kursi goyang yang biasa digunakan tuan besar bersantai, kududuki. Pikiranku kosong, sekosong jiwa yang kurasakan malam ini.

"Aku memang seorang lonte!" Rutukku kepada diri sendiri.

"Bukan lonte tapi seorang nyai." Hisyam tiba-tiba muncul dari samping rumah. Lelaki ini masih mengenakan pakaian lengkap.

Aku sempat terkejut sekaligus takut saat kehadirannya. Apalagi dengan golok yang senantiasa terselip di pinggang kiri. Meskipun sebelumnya, aku sudah mengetahui jika tiap malam Hisyam bertugas memeriksa keamanan rumah.

"Nyai dan lonte sama saja. Sama-sama menjual tubuh!" Aku menoleh kepadanya untuk mencari pembenaran dari kata-kataku. Hisyam hanya diam saja tanpa membalas.

"Mengapa Nyai belum tidur?" tanyanya.

"Ndak bisa tidur gara-gara kepikiran lonte," jawabku asal.

Hisyam mendengkus kesal. "Kalau memang Nyonya seorang lonte, kenapa ndak tinggal di rumah Babah Akong di Kebalen?"

Jujur, hatiku merasa geram saat Hisyam menyebut nama Babah Akong dan Kebalen. Kesal tentu saja. Bagaimana tidak, Babah Akong seorang germo pelacuran terkenal yang mempunyai rumah bordil di Kebalen. Dua nama itu sangat kukenal karena tak sedikit perempuan di desaku yang mengadu nasib sebagai wanita publik karena dibelit kemiskinan.

"Lonte itu kalau tubuhnya dinikmati banyak orang. Tapi kalau Nyai, hanya tuan besar yang berhak!" tekannya.
"Saya permisi dulu, Nyai. Mau melanjutkan pekerjaan." Ia pamit sambil berlalu dari hadapanku.

"Syam." Lelaki bercelana panjang itu menoleh.

"Saya kangen sama keluarga. Apa bisa kamu mengantar ke desa?" pintaku. Hisyam berjalan kembali ke arahku.

"Jangan Nyai. Buat apa balik ke desa meski cuma sebentar?"

"Yang ada Nyai hanya akan menerima hinaan," imbuhnya berusaha meyakinkanku. Aku kembali teringat perkataan perempuan pemotong tebu di perkebunan tadi pagi.

Mataku mulai berkaca-kaca. Meratapi nasib sebagai seorang nyai dan akibat yang harus kuterima karenanya. Kuseka air mata yang mulai menetes. Hisyam masih berdiri di hadapanku dan menyaksikan apa yang terjadi.

"Coba lupakan masa lalu termasuk keluarga. Sekarang sudah jadi nyai. Lagipula, bukannya Nyai Moenah sudah dijual ?" Hisyam mengingatkanku kemudian bergerak menjauh. Sosoknya sedikit demi sedikit menghilang ditelan gelapnya malam.
Kugoyang-goyangkan kembali kursi yang kududuki. Merenungkan kembali kata-kata yang diucapkan Hisyam. Apa yang diucapkannya memang ada benarnya. Melupakan masa lalu.
Dinginnya udara malam memaksaku kembali masuk ke dalam.

Kuteguk segelas air putih hingga tak bersisa setetes pun untuk menyegarkan pikiranku. Pembicaraanku dengan Hisyam setidaknya membuat hati ini merasa lega. Mengurangi beban yang sedari pagi menggumpal di pikiran.
Hisyam. Awal pertemuan dengannya meninggalkan kesan yang tak menyenangkan. Aku masih mengingatnya, bagaimana dia menyeretku menaiki delman. Tiba di rumah ini, dia juga memberi peringatan. Aku pun berpikir jika memang dia sungguh tidak menyukaiku.

Semua perlakuannya kepadaku yang tidak menyenangkan berubah seketika saat aku resmi menjadi nyai Tuan Besar Willem van Der Kruuk. Dia mulai berlaku dan berbicara sopan kepadaku. Benar apa yang dikatakan Bik Sina, sesungguhnya Hisyam adalah orang baik dan itu sudah dibuktikannya malam ini.

Keterangan :

Baju demang : Jas dengan kerah menyerupai baju koko. Umumnya, baju demang bewarna putih.

Helm hoed : Topi safari, biasanya digunakan sebagai pelengkap baju demang.

Lonte : Wanita Tuna Susila

Wanita publik : sebutan pekerja seks komersial pada masa kolonial Belanda

Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang