Novemper 1919
Mentari pagi masih bersembunyi di balik awan. Pagi ini, udara tak terlalu dingin menusuk tulang. Kunikmati teh panas dengan kepulan uap yang keluar dari dalam cangkir. Di sampingku, tuan besar tampak melahap sepotong spekkoek. Berdua, kami menikmati suasana pagi serta menghirup udaranya yang segar. Tuan Besar memintaku menemaninya di serambi belakang rumah saat kuhidangkan teh dan spekkoek.
Sebulan lebih, aku menyandang status nyai dari Tuan Besar Willem van Der Kruuk. Selama itu pula, aku mengetahui beberapa kebiasaannya. Tuan besar akan berada di serambi belakang rumah selepas bangun tidur. Lengkap dengan baju takwo beserta sarung batik yang yang membungkus badannya.
Begitu pula ketika kami akan terlelap mengarungi malam bersama. Tiada lagi guling yang kerap digunakanya sebagai teman tidur. Tuan besar pernah bercerita kepadaku, sebelum kehadiranku di rumah, tiap malam ia memeluk guling sebagai pengganti teman tidur. Menurutnya, orang Belanda akan memeluk guling dengan erat ketika tidur. Mengibaratkannya sebagai seorang perempuan. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat pria berambut pirang itu bercerita.
Hidup bersama Tuan Besar van Der Kruuk pula membuatku belajar banyak mengenai kehidupan ala orang Belanda. Sedikit demi sedikit juga kumulai membiasakan diri dengan berbagai hal baru termasuk makan dengan menggunakan sendok serta garpu.“Moenah, besok siang saya akan kedatangan tamu yang akan berkunjung ke sini.”
Kuletakkan cangkir teh yang sedari tadi kupegang. Baru kali ini ada tamu yang akan datang ke rumah tuan besar setelah aku menjadi nyainya.
“Siapa, Tuan Besar?” tanyaku penuh antusias.
“Seorang sahabat bersama istrinya. Mereka baru saja pindah ke kota ini.”
“Lalu apa perintah Tuan Besar untuk saya?”
“Masaklah makanan terlezat. Kita sambut mereka dengan sajian istimewa,” terangnya sebelum meneguk teh.
“Mereka pasti tamu istimewa, bukan?” Lelaki di sampingku, mengangguk.
Sejak aku menyandang status nyai, semua urusan rumah tangga menjadi tanggung jawabku, kecuali urusan dapur. Kokkie adalah orang yang berkuasa penuh di dapur. Aku hanya bertugas untuk memastikan kebersihan yang terhidang di atas meja makan. Terkadang, aku juga membantu Bik Sina dan kokkie saat memasak. Mulanya, aku tak begitu pandai memasak terutama makanan yang biasa dimakan orang Belanda. Mereka berdualah yang mengajari hingga aku mampu memasak berbagai jenis masakan .Kulakukan apapun untuk mendapatkan hati tuan besar dan menyenangkannya. Meskipun terkadang diri ini harus berperang dengan suara hati terdalam. Jika apa yang kujalani selama ini adalah salah. Hidup seatap dengan lelaki tanpa ikatan pernikahan.
Kuberitahu Bik Sina akan rencana kedatangan tamu tuan besar. Besok adalah Hari Minggu, hari di mana pria dengan perawakan tinggi dan gagah itu mempunyai kebiasaan berkunjung ke rumah para sahabatnya selepas beribadah di gereja. Namun, kali ini berbeda. Tuan Besar van Der Kruuk akan berganti peran menjamu tamunya.
***
Sebuah kereta beratap tampak memasuki pekarangan depan. Kuintip dari jendela, seorang wanita Belanda turun dari kereta. Mengenakan kebaya putih dengan hiasan renda di bagian kerah. Kesan mewah makin terlihat dengan tambahan brokat di bagian bawah kebaya. Wanita itu terlihat sangat cantik dengan rambut tersanggul di belakang. Berada disampingnya, seorang lelaki memakai jas dan celana panjang warna hitam. Warna yang kontras dengan rambut putih di atas kepalanya.
Tuan Besar sendiri memberiku sebuah kebaya baru berwarna senada yang dipesannya dari toko jasa pembuatan baju di pertokoan Kayu'tangan beberapa saat silam. Melengkapi kebaya di bagian atas, kukenakan sarung batik bermotif burung api dari Madura. Sebuah selop warna hitam dengan ukiran warna keemasan menjadi alas kakiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)
Historical FictionMoenah, gadis pribumi miskin dijual keluarganya untuk menjadi gundik Willem van Der Kruuk. Status barunya sebagai seorang nyai, membawanya menjalani kehidupan yang berwarna. Pertemuan dengan Jacobus Kruuk menjadi awal perseteruannya dengan putra san...