“Dasar Nyai bodoh!”Hisyam menarik lenganku dengan kasar. Lelaki ini tak peduli dengan pandangan orang-orang yang berada di alun-alun. Pertama kalinya dia membentakku. Kerumunan orang mulai menyemut. Suaranya yang nyaring menarik perhatian orang lain.
“Ayo, cepat naik! Bikin susah saja!” Kunaiki delman yang menunggu kedatangan kami berdua di depan masjid.
“Hu ... hu ... hu .... ” Aku menangis sesenggukan. Ingus yang mulai keluar dari hidung, segera kubersihkan dengan kebaya. Hisyam masih melototiku . Keinginan untuk pergi sejauh mungkin, gagal.
“Makanya, ndak usah aneh-aneh. Sadar diri kamu!” ujarnya dengan nada tinggi.
“Saya ndak salah. Wong nyonya londho itu yang mulai.” Aku berusaha memberi penjelasan kepadanya.
“Kalau kamu ndak salah, kenapa lari? Lari itu buat orang yang salah!” semburnya.
“Saya cuma takut. Apa nanti tuan besar akan marah?” Lelaki berbadan besar itu menepuk punggung kusir dan meminta supaya memperlambat delman yang dikusirinya.
“Pokoknya kamu siap-siap saja kalau tuan besar menghukummu wong kamu juga salah, lari dari rumah,” jawab laki-laki yang sedang mengelus-elus kumisnya.
Rasa takut menderaku begitu delman melewati jembatan Tjelaket yang menjadi pembatas kampung Eropa dengan daerah Kayutangan. Delman tak bergerak saat kudengar Hisyam meminta sang kusir menghentikan delman.
Hisyam menatapku, membuat diri ini tidak nyaman.
“Apa Nyai mau janji ndak akan bikin masalah lagi?,” timpalnya. Kali ini dengan nada lembut. Aku terkejut dengan permintaannya.
“Kita ini cuma orang kecil, Nyai. Beda dengan mereka. Kalau kita buat salah bisa berat akibatnya.”
Aku memandang Hisyam dengan nanar. Kata-katanya memang benar adanya. Namun, masih ada yang mengganjal di hatiku.
“Masak kalau mereka yang salah kita tetep diam saja, Syam?” tanyaku dengan nada lirih.
“Nurut sama saya, Nyai. Ini demi kebaikan Nyai. Saya sudah makan garam ngelihat penduduk pribumi yang dihukum gara-gara bikin masalah sama orang Belanda.” Hatiku gelisah merasa tak senang mendengar penuturannya.
Ini sudah tidak benar.
Hisyam keluar dari delman. Tangan kanannya merogoh sesuatu dari kantong baju. Sebatang rokok kretek dihisapnya. Kepulan asapnya mengeluarkan aroma khas tembakau dan cengkih. Aku turut turun dari delman. Bermaksud menjauh darinya karena tidak begitu tahan dengan aromanya yang menyengat. Kupandangi pria yang tengah menikmati setiap hembusan rokok yang sedang dihisapnya. Seorang lelaki yang entah sudah berapa lama menjadi jongos tuan besar. Barisan giginya juga terlihat mulai menghitam.
“Sudah, ayo naik.” Hisyam memerintahku menaiki delman kembali begitu batang rokok yang dihisap makin memendek. Lelaki itu lalu membuangnya ke tanah dan menginjaknya . Kuturuti perintahnya.
“Nyai, janji ndak minggat lagi ya?” pintanya. Kuangkat kepalaku setelah sedari tadi menunduk.
Lama aku tak menjawabnya permintaanya sampai aku mengangguk.
“Tapi saya tetep ndak bisa terima kalau kita dihukum gara-gara kesalahan mereka!” tegasku.
“Kalau begitu nyai jadi mereka saja.” Mataku terbelalak mendengar kata-katanya.
“Jangan mimpi, Syam!” cibirku kepadanya. Hisyam tertawa.
“Ya itu, nyai sudah tahu tapi tetep saja ngeyel.” Dia mencemoohku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)
Historische RomaneMoenah, gadis pribumi miskin dijual keluarganya untuk menjadi gundik Willem van Der Kruuk. Status barunya sebagai seorang nyai, membawanya menjalani kehidupan yang berwarna. Pertemuan dengan Jacobus Kruuk menjadi awal perseteruannya dengan putra san...