Bagian 2 - Peringatan

1.5K 154 1
                                    


Kutahan rasa kantuk yang menghampiri diri ini sejak turun dari kereta. Namun, mata ini seakan-akan dipaksa untuk tetap terbuka saat menyaksikan deretan bangunan. Aku terkesima. Baru kali ini aku menjejakkan kaki ke kota dan menyaksikan bangunan-bangunan besar-sesuatu yang tidak ada di desa. Delman melewati sejumlah bangunan megah yang berdiri di sepanjang jalan.

Mata ini terbelalak ketika delman berjalan di depan sebuah bangunan berpagar. Kualihkan netra ini ke kanan kiri memperhatikan pemandangan yang tersaji. Hisyam hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku. Sebuah papan kayu tegak berdiri ketika delman memasuki kawasan yang cukup ramai dengan keberadaan orang-orang yang menyemut di beberapa titik. Beberapa delman menepi di pinggir jalan.

"Ini daerah Kayutangan, namanya." Suara Hisyam membuatku berpaling kepadanya.

Di pertigaan jalan, sebuah penunjuk jalan berbentuk telapak tangan berada di tengah-tengah jalan. Delman terus bergerak ke utara melewati jembatan. Sebuah bangunan dengan patung yang berdiri di depannya menjadi pembuka dari rangkaian bangunan indah yang berjejer yang dilalui delman.

Kecepatan delman mulai berkurang sedikit demi sedikit ketika memasuki sebuah kediaman dengan halaman luas di depannya. Delman berhenti di depan serambi sebuah rumah. Warna putih mendominasi keseluruhan warna bangunan. Berbagai tanaman menjadi penghias di setiap sudut halaman depan.

"Cepat turun!" bentak Hisyam.
Setengah takut kuturuti perintahnya sambil merangkul bungkusan yang berisi pakaian. Aku berjalan mengikutinya memasuki rumah. Seorang perempuan paruh baya berkebaya hitam menyambut kedatangan kami di serambi. Dia tersenyum kepadaku.

"Cantik, Syam," puji perempuan itu. Hisyam tampak senang mendengar pujian yang dilontarkan kepadanya. Jongos itu tersenyum.

"Cah Ayu, ayo saya antar ke kamarmu."
Aku mengangguk, mengikuti langkahnya.

"Kamu jangan takut sama Hisyam, ya? Dia itu aslinya baik tapi tugasnya sebagai jongos sekaligus tukang keamanan rumah ini yang membuatnya harus bersikap menakutkan," tuturnya.

Wanita itu membuka pintu sebuah kamar dan memasukinya. Aku merasa kagum dengan perabotan yang ada di dalamnya. Kamar ini dilengkapi lemari, cermin, laci, dan ranjang. Kuhampiri tempat tidur dan mendudukinya.

Empuk.

Hal yang tak pernah kurasakan sebelumnya karena memang di rumah tak ada kasur.

"Kalau kamu butuh sesuatu, kamu cari saja saya, Bik Sina." Telapak tangan kanannya menunjuk ke bagian dada.
Aku mengangguk sambil mendekap bungkusan baju.

"Namamu Moenah, kan?"

"Hisyam yang memberitahuku sebelum dia menjemputmu," tambahnya.

Wanita itu sedang membereskan sesuatu lalu mendekatiku.

Tangannya hendak meraih bungkusan baju yang sejak tadi kudekap tetapi aku menolak dengan menggelengkan kepala.

"Tuan besar ndak kan suka ini. Di lemari ada banyak. Lihat saja." Bik Sina menggerakkan dagunya menunjuk sebuah lemari yang berada dekat jendela.

Aku menuju lemari yang dimaksud Bik Sina dan membukanya. Aku terkejut. "Punya siapa?"

"Nyai tuan besar sebelumnya. Diusir karena ketahuan mencuri. Makanya, kamu baik-baik selama di sini biar tuan besar makin sayang," ucapnya sambil berlalu dari hadapanku.

Kuberanjak dari posisi duduk di ranjang. Beralih ke sebuah cermin besar yang berada di samping tempat tidur. Mematut di depan cermin. Kuperhatikan diri ini mulai ujung atas hingga bawah. Seorang perempuan pribumi miskin, atas nama takdir menjadi seorang nyai. Sebuah masa depan yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya.

Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang