Juni 1920Kugenggam erat kain sarung batik yang kukenakan. Aku menunduk tak mampu berucap apa-apa. Diam menjadi sebuah pilihan saat ini. Andai waktu dapat diputar kembali, tentu aku lebih memilih untuk tidak melakukannya. Tuan Besar van Der Kruuk mondar-mandir dengan sebuah cangklong di mulutnya, tak jauh dari kursi yang kududuki.
“Mengapa berubah pikiran?” Suara berat itu menghampiriku.
“Ehm .... ”Aku tak mampu meneruskan kata-kataku. Berpikir sejenak, kalimat apa yang hendak kulontarkan kepadanya.
“Ma-afkan sa-ya, Tuan Besar,” ucapku penuh sesal. Kutegakkan kepala.
Tuan Besar van Dr Kruuk menatapku sejenak. Lelaki itu menggeleng kemudian.
“Tapi saya bersyukur akhirnya kamu menyadarinya juga. Terima kasih, Moenah,” sahutnya.
Ah tuan ... sosoknya yang hangat kini telah kembali. Bukan lagi lelaki dingin seperti saat sarapan tadi. Andai dia tahu jika apa kulakukan, membatalkan keinginanku untuk menggugurkan janin yang kukandung adalah karenanya.
Lelaki itu masih menatapku. Kuberikan sebuah senyuman untuknya. “Terima kasih, Tuan Besar.”
Malam ini, bunga-bunga di hati sedang bermekaran. Baru kusadari satu hal, cinta memang bisa membuat seseorang melakukan apapun. Kupikir dulu, hidup bersama tuan besar adalah sebuah takdir yang harus dijalani dalam keterpaksaan. Namun, pada akhirnya sebuah rasa yang muncul mengubah segalanya.
***
Derap langkah kuda menyusuri jalan menuju selatan. Suasana masih lenggang. Hanya sedikit manusia yang menampakkan diri di jalanan. Kusir dengan delman mereka dan gerobak sapi yang berjalan lambat.
“Kenapa ngeliat terus, Syam?” tanyaku kepada lelaki yang duduk di samping.
Hisyam menggeleng. Matanya beralih ke depan. “Kamu itu ndak bisa lihat toh, Moen?”“Maksudnya apa?” Aku menoleh tak mengerti maksud kata-katanya. Jika Hisyam sudah memanggiku dengan nama itu berarti lelaki itu sedang kesal kepadaku.
“Tuan besar itu aslinya seneng pas tahu kamu hamil. Eh, malah kamu yang pengen janin itu mati!” tukasnya kesal.
Aku menunduk. Rasa bersalah yang menyelip di hati ketika Hisyam memberitahuku tentang tuan besar.
“Aku ndak mau bernasib sama dengan ibunya Tuan Muda Jacob,” ucapku lirih.
“Mana ada seorang anak dipisahkan dengan perempuan yang sudah melahirkannya. Tega betul!”
“Tahu apa kamu, Moen!” Hisyam mencibir .
“Aku sudah tahu semuanya, Syam!” bantahku.“Ingat! Kamu itu sudah dibeli tuan besar. Ndak pantas kalau kamu itu nyakiti tuan besar!” tuduhnya. Matanya mendelik seakan-akan tak terima dengan ucapanku.
Menyakiti tuan besar? Lalu bagaimana denganku? Apa hanya tuan besar saja yang memiliki hati?
Aku mendengkus kesal. Aku memang sudah dibeli tetapi bukan berarti diri ini bisa diabaikan. Apakah memang seperti ini nasib sebagai barang dagangan hingga tak berhak untuk mengatur kehidupanku sendiri?
“Kamu tahu, Moenah, tuan besar itu sudah banyak berubah.” Jongos itu membicarakan lagi tentang tuannya.
“Dulu ketika masih di Aceh. Saya tahu benar gimana tuan besar. Orangnya keras dan ndak bisa dikalahkan,” tutur lelaki itu.
“Tapi semua itu berubah setelah tuan besar menyadari kesalahannya. Tuan besar menyesal karena telah mengusir Nyai Poinah dan tidak jujur kepada Tuan Muda Jacob sejak awal. Setelah itu, tuan besar semakin mendekatkan diri kepada Tuhannya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Moenah Sang Nyai (Sudah Terbit)
Historical FictionMoenah, gadis pribumi miskin dijual keluarganya untuk menjadi gundik Willem van Der Kruuk. Status barunya sebagai seorang nyai, membawanya menjalani kehidupan yang berwarna. Pertemuan dengan Jacobus Kruuk menjadi awal perseteruannya dengan putra san...