Kaella sadar, terjebak dalam hubungan tanpa status adalah hal paling idiot. Daripada berada dalam hubungan tak jelas semacam itu, mending cari yang lain, kan? Tetapi ia terlanjur jatuh dalam pesona Gabriel. Bos geng satu itu adalah pria dengan tempr...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bu Anih merasa kepalanya pusing sekali sekarang. Ditatap sampai tujuh kali atau lima belas kali pun, begundal di hadapannya memang tidak bisa meringankan migrain. Yang ada tekanan darahnya malah naik. Kacamata yang setia bertengger di hidungnya sampai merosot karena guru BK satu itu sempat menghembuskan nafas dengan wajah tertunduk.
Saat mengangkat muka lagi, siswa badung di depannya malah diam memandangi figura foto presiden, sengaja menghindari tatapan. Bu Anih menghela nafas lagi.
"Tonjok orang yang lagi lewat pagi-pagi. Siangnya ketahuan mau bolos lewat gerbang belakang. Sore ini apa lagi? Mau bikin keributan di stadion GBK? Enggak sekalian bakar sekolah ini aja, Gabriel?"
Dan Gabriel cuma diam saja. Di bawah meja, telunjuk lelaki itu mengetuk-ngetuk punggung tangannya yang lain. Lalu diam-diam melirik jam dinding. Hampir dua puluh menit dia mendapat siraman rohani di ruang BK. Rahangnya mengeras dan cuma bisa mendecak pelan, pelan sekali.
"Ngapain lihat-lihat foto presiden? Mau kamu ajak berantem juga?" omel Bu Anih. Gabriel langsung menurunkan pandangannya.
"Kamu tuh..." Bu Anih ingin memaki-maki, tapi mengingatkan diri sendiri bahwa siswa bandel itu adalah anak orang penting -yang mana rekan bisnis pemilik yayasan sekolah, akhirnya hanya meneguk ludah. "Kamu tuh belajar aja yang bener, bisa nggak, sih? Nilai kamu udah tergolong bagus, tapi catatan kriminal juga penuh. Pusing ibu, pusiiing ini," Bu Anih mengetuk-ngetuk dahi. Bibir tipisnya jadi terlihat amat julid kalau lagi geregetan. Bukan geregetan karena tingkah nakal Gabriel, tapi lebih geregetan karena tidak bisa menghukum apa-apa. Andai saja ini bukan Gabriel, surat drop out sudah dikirim sejak tahun lalu.
"Ini terakhir kalinya, ya, kamu buat ulah." Terakhir kali yang entah sudah keberapa puluh kali Bu Anih tekankan. "Kamu tuh udah kelas dua belas. Tinggal ujian doang, lulus, udah. Tahan itu tangan kamu biar enggak melayang kesana-kemari. Bisa ya, Gabriel?"
Mustahil.
Gabriel mengangguk.
"Yaudah sana pulang. Ini bahkan udah lewat jam pelajaran. Ck, kalau kamu enggak banyak tingkah, dua puluh menit yang lalu kamu udah keluar gerbang. Besok-"
Padahal Bu Anih mau ngomel lagi, tapi Gabriel langsung berdiri dan membuat guru BK itu jadi tersentak diam. "Sudah sana sana! Pusing saya lihatnya."
Ya, memangnya cuma dia doang yang pusing? Kuping Gabriel penging daritadi mendengar ceramah yang itu itu melulu.
Saat Gabriel keluar dari ruang BK, tiga pemuda yang tadinya duduk-duduk menyender di tembok kompak berdiri. Mereka langsung mengerubungi Gabriel, udah kayak keluarga korban yang menunggu dokter keluar dari ruang ICU.