3. Hamba Allah

69 6 0
                                    

Suara detingan piring terdengar pelan dan mulai mereda. Nada mengambil air mineral miliknya dan meminumnya kemudian. Entah mengapa tangannya menjadi terasa dingin. Mungkin efek dari rasa canggung yang menderanya saat ini.

Melirik sekilas ke arah laki-laki di di hadapannya, yang ternyata orang itu sedang melihat kearahnya. Ups!

"Apa kamu salah satu pasien saya?" Tanya laki-laki di hadapan Nada. Sebuah pertanyaan yang membuat Nada melongo.

"Pasien?"

"Bukankah saya pernah mengatakan untuk tidak menemui saya saat di luar?"

Apa-apaan mas-mas ini?!

"Sebentar deh. Mas ini ngomong apa ya kalo boleh saya tau? Saya kenal Mas aja engga loh. Baru beberapa menit saya ketemu sama Mas."

Nada mulai was-was. Apa jangan-jangan, laki-laki ini penipu?

Alih-alih menjawab, laki-laki di hadapan Nada sepertinya lebih tertarik dengan handphone daripada berbicara pada Nada.

"Yo Bro! Udah lama lo disini?"

Nada mengalihkan pandangan ke arah sumber suara yang menyapa mereka. Lebih tepatnya menyapa laki-laki di depannya.

"ALVIN?!"

Seorang laki-laki dengan balutan baju loreng-loreng TNI berdiri dekat dengannya dengan sangat gagah. Membuat Nada tambah menjadi gugup dan mulai merasa jantungnya berdegub kencang.

"Loh.. Dhianada? Nada kan?" Alvin bertanya dengan tidak menahan rasa terkejut nya juga. Dan Nada hanya sanggup menganggukan kepala untuk menjawab. Kebetulan apalagi ini.

"Lo kenal sama Vian? Dunia sempit banget ternyata." Ucap Alvin setelah melihat ke arah meja, dimana masih ada mangkuk dan gelas bekas makan Nada dan laki-laki yang ternyata bernama Vian itu.

Dan kali ini Nada menggeleng menjawabnya.

"Ada apa lo telpon tiba-tiba suruh gua ke sini?" Vian langsung mengeluarkan pertanyaan to the point ke Alvin. Alvin pun memilih duduk di samping Vian. Dan yang kalian tahu sendiri, mereka mulai mengobrol berdua, menghirau keberadaan Nada. Dan demi apapun, Nada tidak tau harus melakukan apa.

Segera mungkin Nada mengirimi Zahra pesan. Baru saja ingin membuka aplikasi chat online, muncul notifikasi pesan masuk. Yang ternyata dari Zahra. Pas sekali!

'Ada berita besar!! Tadi gue lihat Alvin di sekitar rumah sakit. Dia berdua sama temannya, pakai pakaian dinas TNI yang army.'

Loh? Jadi Zahra sudah bertemu Alvin?

Nada mengetik balasan pesan ke Zahra dengan secepat kilat.

'Orangnya ada di depan gue sekarang.'

- send.


"Hai Nada. Bagaimana kabarnya?"

Bukan lagi layar handphone yang di tatap nya melainkan sang pujaan hati yang dengan sangat beruntung, ada di hadapan Nada saat ini.

"Alhamdulillah, baik. Lo gimana? Sekarang udah jadi TNI ya." balas Nada dengan senyuman.

"Iya. Engga tau mimpi apa, tiba-tiba keinginan jadi TNI kenyataan. Walaupun saat ini masih pangkat rendah." Ucap Alvin membalas dengan senyuman manis.

Duh Gusti gantengnya~

"Itu udah hebat loh. Yang gue tau, TNI itu susah untuk seleksi masuknya, dipilihnya, terus pelatihan nya. Dan harus ada kriteria khusus dan tahan banting."

Alvin mengangguk kecil, "Ngomong-ngomong, lo kenal sama Vian? Kaget gua pas liat ternyata sobat gua punya temen deket yang mau diajak makan bareng."

Alvin tertawa seraya menyenggol tangan Vian yang sedang menggenggam handphone. Namun yang disenggol tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari handphone nya.

"Dia pasien gua." Ucapan singkat itu membuat Alvin menatap Nada. Sedangkan Nada menatap Vian dengan pandangan sebal.

"Wah, jadi lo udah nikah, Nad?"

"Hah?! Engga. Gue masih single." Nada menjawab panik. Kenapa tiba-tiba jadi membicarakan itu?

"Oh, maaf maaf. Kirain lo kenal Vian karena emang bener-bener pasien nya. Vian ini dokter obgyn terkenal di rumah sakit ini."

"Dokter Obgyn?!"

Bentukan laki-laki seperti di hadapannya ini adalah Dokter Obgyn? Wajah datar layaknya papan cucian, apa janin pasien-pasien nya tidak pada sawan saat diperiksa?

Pantas saja Alvin menanyakan apakah Nada sudah menikah atau belum. Mungkin karena itu.

Alvin menatap Nada bingung. Nada yang melihatnya pun tersenyum kecil, berusaha bersikap biasa saja walaupun rasanya dia ingin sekali tersenyum sangat lebar akibat rasa bahagia karena di tatap pujaan hati.

"Emm, kalo gitu gue pamit duluan ya. Masih ada urusan juga, karena ke sini bareng temen." Kata Nada seraya membereskan barang-barangnya dan pakaiannya yang sedikit berantakan.

"Iya. Thanks udah ngobrol sama kita." Balas Alvin.

Mata Nada kemudian beralih ke arah Vian. Laki-laki itu tidak sedang berkutat dengan handphone nya lagi melainkan menatapnya.

'Duh Gusti, harus ngomong apa aku?' Batin Nada.

"Terima kasih dan maaf ya untuk makanannya Mas, eh Dok." Nada mengutuk mulutnya yang salah memanggil.

"Sama-sama."

Nada menghampiri abang-abang penjual soto dan membayar pesanan nya. Namun, setelah di pikir dua kali, Nada pun memutuskan untuk membayar makanan milik Dokter tadi. Hitung-hitung untuk permintaan maaf.

"Mas, nanti kalo laki-laki yang tadi pesan soto itu mau bayar, bilang saja sudah dibayar ya. Jangan bilang dari saya, bilang saja dari Hamba Allah. Oke Mas?"

"Siap, terima kasih Mba."

"Iya, terima kasih juga ya."

Nada bergegas pergi dari kantin setelah membayar makanannya. Dan hal itu tak luput dari pandangan Alvin.

Alvin pindah posisi duduk menjadi berhadapan dengan Vian.

"Sejak kapan lo kenal Nada? Ngomong-ngomong, dia itu satu angkatan SD sama gua."

Vian meminum minumannya pelan, "Barusan kenal."

"Wah, jangan bohong lo."

Vian menghela nafas, "Kalo lo gak jadi ngomong apa-apa, gua mau balik. Mau tidur."

Vian berjalan menghampiri abang-abang penjual soto untuk membayar pesanan nya dan meninggalkan Alvin begitu saja.

"Permisi Pak, saya mau bayar pesanan."

"Oh, Mas yang tadi sama Mba yang pendek itu ya? Kata Mba itu, pesanannya sudah dibayar sama Hamba Allah, Mas."

Vian terkejut mendengar jawaban penjual soto tersebut. Terselip rasa ingin tertawa saat mendengarnya. Jadi, perempuan tadi sudah membayar pesanan nya?

"Ya sudah, terima kasih Pak." Setelah membayar, Vian mengambil handphone nya yang masih ada di meja dan berjalan meninggalkan Alvin.

Tak lama kemudian, Alvin menyusul berjalan di sampingnya seraya mendumal. Lalu, telinganya mendengar Alvin mulai bercerita tentang masalah pribadinya, dan dirinya menanggapi cerita sesekali dengan menganggukkan kepala dan memberi saran.


.


Bersambung...

Cinnamon HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang