10. Vanya's Problem (1)

38 3 0
                                    

Hari yang baru, tanggal yang baru dan bulan yang baru, menwakili perasaan orang-orang diseluruh dunia dengan harapan yang baru pula. Berharap hari ini menjadi hari yang lebih baik dari hari sebelumnya. Itulah harapan Vian juga.

Vian mengistirahatkan tubuhnya di sofa ruangan khusus dokter yang biasa ia tempati setelah menyelesaikan pekerjaannya yang cukup menguras tenaga dan pikirannya itu. Seraya mengatur napasnya, tangannya mengambil handphone dan membukanya untuk melihat apakah ada pesan atau telpon masuk yang mungkin ia tidak sadari.

Dan benar saja. Baru saja membuka handphone, telpon masuk dari Vanya terpampang jelas dilayar. Langsung saja ia jawab panggilan itu.

"Halo."

'Kak, tolong bilangin ibu, aku gak mau kuliah disana. Kak please, aku gak mau pindah tempat kuliah.'

"Itu yang terbaik buatmu."

'Apanya yang terbaik buat ku? Aku disini baik-baik aja, aku gak kena DO, gak ada masalah sedikit pun.'

"Bahkan baru satu setengah bulan yang lalu kamu kena paku berkarat dan 2 hari yang lalu kamu ikut tawuran karna teman mu. Apa itu gak cukup buat kamu paham?"

'Ya Allah Kak, udah aku bilang, itu bukan karena temanku. Itu ketidaksengajaan. Okelah kena paku itu karena emang aku mau nolongin anak yang mau digebukin mama nya. Tapi kan kalo ini emang gak sengaja. Aku gak tawuran, tapi gak sengaja jadi korban tawuran pas lagi ngongkrong sama temen, Kak. Dan temenku udah berusaha nolongin aku, dia bahkan lebih parah dari aku luka nya karena nolongin aku. Kak, please aku minta tolong buat yakinin Ibu sama Bapak.'

Vian mendengar suara Vanya yang bergetar disana. Ia tahu adiknya itu menahan tangis. Vian akui, Vanya itu sangat pandai menyimpan perasaan dan emosinya di depan orang, bahkan didepan orang tua mereka. Tapi Vanya tidak bisa melakukan itu jika dengannya. Vanya akan menangis seperti anak kecil jika ia mau.

Saat ini Vanya tidak dirumah, ia tidak tau dimana Vanya sekarang karena Vanya tidak memberitahukannya. Tapi ia tau jika Vanya cukup babak belur wajah dan tubuhnya karena menjadi korban tawuran di dekat kampusnya itu, katanya.

"Dimana kamu sekarang?"

'A-aku gak mau ngasih tau Kakak sebelum Kakak mau yakinin Ibu sama Bapak.'

"Vanya!"

'A-aku tau aku juga salah ngelakuin ini, tapi Kak, tolong jangan marah sama aku. Aku takut.'

Vian memijat pangkal hidungnya. Kepalanya menjadi terasa sakit akibat masalah ini. Lagi-lagi ia juga salah karena tidak mampu menjaga Vanya dari jauh. Dirinya terlalu berfokus pada pekerjaannya yang memang sulit untuk ditinggalkan.

'Aku tetep gak mau pindah kampus. Aku tau.. Kakak marah sama aku. Selama Kakak marah, maka aku juga gak akan pulang. Aku gak mau liat Kakak yang lagi marah sama aku. Dan aku cuma mau minta tolong itu. Tolong bilangin Ibu sama Bapak kalau aku gak mau pindah kampus.'

Sambungan telpon terputus secara sepihak. Vian menatap layar handphone dengan seksama. Tanpa sengaja melirik jam yang terpampang di layar. Ini sudah jam nya ia pulang, tapi dia masih berdiam diri di ruangannya. Memikirkan satu dan lain hal yang berkecamuk di kepalanya.

Vian mendekatkan handpone nya kembali ke telinga. Menunggu seseorang disebrang sana menjawab telpon nya.

"Assalamualaikum Bu, ini Vian."

'Waalaikumsalam. Ada apa Vian?' jawab Ibu Vian disebrang sana.

"Vanya sudah hubungi Ibu belum?"

'Belum, dia belum hubungi Ibu dari kemarin. Ibu sudah telpon berkali-kali tetep gak diangkat. Kemarin ibu juga ke rumah sakit tempat temannya dirawat, tapi dia gak ada disana.'

Cinnamon HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang